"Kakak itu sangat patuh. Kalau tidak bermain di sungai, bermain bola di lapangan berlumpur dengan teman-temannya, dia pasti di pasar membantu ummi,” ujar Dr. Mutmainah.
“Kalau di rumah dia suka membaca. Apa saja dibacanya. Bahkan novel cerita silat Kho Ping Khoo,” ujarnya.
“Kakak juga suka menggambar. Dia pernah menggambar sosok samurai yang menjadi idolanya," tutur Mutmainah.
Sosok Pekerja Keras Sejak Remaja
Dalam berbeda kesempatan, Farid Makruf sendiri pun berkisah tentang kenangannya saat bersekolah.
Semasa SMP dan SMA, Farid Makruf harus bangun lebih awal dari yang lainnya agar bisa menumpang truk pengangkut batu.
Atau dia menumpang mobil pikap pengangkut palawija, bahkan ikan untuk sampai ke Bangkalan yang jaraknya 21 kilometer dari Petra.
“Tujuannya menghemat ongkos angkutan. Di waktu lain saya menumpang teman saya yang punya Vespa,” aku Farid Makruf.
Nah, di saat SD atau SMP itu, saban Sabtu, ia tak masuk sekolah. Alasannya, Sabtu itu hari pasar.
Farid Makruf harus membantu ibunya mengangkut barang. Ada pula tambahannya; Dia bisa dapat tambahan uang saku.
Pengalamannya hidup di lingkungan pasar, bertemu dengan orang dengan karakter beragam, kemampuan beradaptasi dengan situasi, dan berkomunikasi dengan banyak orang terbawa hingga menjadi komandan satuan.
Setelah tamat SMA, Farid Makruf sudah mendaftar ke Institut Pertanian Bogor dan kemudian lulus.
Namun suatu waktu bapaknya membawa brosur Akabri dan menunjukkan padanya.
Farid Makruf remaja tertarik. Bapaknya pun bertanya, sembari menunjukkan daun pisang; “Rid, ini warna apa?”
Ia menjawab; “Warna hijau.”
Bapaknya pun langsung menyambung; “Bila begitu, ikut saja test Akabari. Sebab kalau kamu jawab itu biru daun, kamu bakal tak lulus.”