Lyamin yakin bahwa keunggulan senjata Israel tidak banyak berguna ketika mereka terlibat dalam pertempuran jarak dekat di Jalur Gaza.
Menurutnya, karakteristik wilayah perkotaan yang padat dan sistem komunikasi bawah tanah akan mengurangi efektivitas keunggulan udara, kendaraan lapis baja, dan artileri militer Israel.
"Meskipun mereka menghancurkan gedung-gedung tinggi dan melakukan serangan udara, struktur bawah tanah yang ada di bawah gedung-gedung besar tetap utuh," tambahnya.
"Struktur bawah tanah ini menciptakan peluang untuk pertahanan, penyusupan, dan taktik lainnya. Oleh karena itu, sulit untuk mengendalikan situasi dalam kondisi seperti itu," ulasnya.
Lyamin juga mencatat bahwa pejuang Palestina memiliki berbagai senjata anti-tank dan cukup banyak peluncur granat, yang sangat efektif dalam pertempuran perkotaan.
Di beberapa area, ranjau darat mungkin dipasang dan jebakan dapat digunakan untuk melawan pasukan Israel.
Tetapi, jika Israel berhasil menggulingkan Hamas, mereka akan menghadapi dilema yang sama seperti yang dialami Amerika setelah invasi mereka ke Irak pada tahun 2003.
Akan timbul pertanyaan: Siapa yang akan memerintah Gaza? Siapa yang akan menjaga jalan-jalan dan memastikan bahwa Hamas tidak kembali lagi ke daerah miskin dimana orang-orang kehilangan keluarga dan rumah mereka?.
Rencana ambisus Israel jelas bukan sebuah solusi dan lebih mirip seperti ajang balas dendam karena tidak ada yang menginginkan Jalur Gaza kecuali Hamas.
Israel bahkan menarik diri dari Jalur Gaza pada tahun 2005, dan Organisasi untuk Pembebasan Palestina (PLO) yang mengelola Tepi Barat tidak mengendalikannya hingga saat ini.
Seperti invasi AS ke Irak, serangan Israel kali ini hanya akan menimbulkan kehancuran dan korban jiwa bagi warga sipil yang memilih tetap bertahan di Jalur Gaza.
Celakanya, sebagin besar negara barat yang menganggp diri sebegai pengmban Hak Asasi Manusi lebih memilih menutup mata.