Oleh: Dahlan Iskan
UYA KUYA terlihat kian naik kelas. Podcast-nya kian serius. Terakhir yang saya lihat: mewadahi keluarga yang mengaku disiksa polisi, dibakar rumahnya, dan dirampas kebun sawitnya.
Yang seperti ini, dulu, adalah pekerjaan wartawan dari surat kabar mainstream. Di era koran yang kian sulit tidak terlihat lagi koran perjuangan yang menegakkan keadilan dan membela orang lemah seperti itu.
Peran itu kini diambil alih oleh Uya Kuya. Lihatlah podcast-nya tentang nasib petani sawit dari Rokan Hilir, Riau. Petaninya sendiri sudah meninggal dunia. Yang hadir di podcast Uya Kuya adalah istri dan dua putri petani itu. Mereka didampingi pengacara terkenal Kamaruddin Simanjuntak. Anda sudah tahu pengacara ini: yang top berkat keberaniannya membela terbunuh Brigadir Josua dalam kasus Inspektur Jenderal Polisi Sambo itu.
Uya Kuya tidak sekadar pewawancara di podcast itu. Uya Kuya sudah memberanikan dirinya sebagai pejuang keadilan. Ia berjanji akan terus mengawal kasus ini. Apa pun risikonya. Tekad seperti itulah yang dulu mendarah-daging di kalangan wartawan koran.
Mungkin masih ada wartawan koran yang seperti itu. Tapi pengaruh tulisan di korannya sudah tidak menggetarkan seperti dulu lagi. Sebuah tulisan di koran sudah tidak bisa lagi menghebohkan. Lalu berkembang menjadi isu penekan bagi pengambil kebijakan.
Sebenarnya keluarga petani tersebut sudah melakukan apa yang dianjurkan pengacara Alvin Lim yang kini di tahanan polisi: buatlah video, upload-lah ke YouTube, viralkan. "Itulah senjata bagi pencari keadilan bagi orang yang tidak punya uang dan tidak punya jabatan".
Keluarga itu pun sudah membuat TikTok. Tapi setelah TikTok menyebar justru tekanan aparat polisi yang meningkat.
Menurut penuturan di podcast itu segala cara sudah dilakukan keluarga petani ini: mengadu, mendatangi polisi, membuat TikTok. Tapi tetap tidak berhasil. Justru keluarga ini disiksa, ditahan, rumah dibakar, rumah satunya lagi diduduki dan sang petaninya sendiri akhirnya meninggal dunia.
Terakhir mereka ke Jakarta. Ke Istana Negara. Ingin bertemu Presiden Jokowi yang ia cintai. Ia mencoba memanjat pagar Istana. Ditangkap. "Tiga kali kami datang ke Istana, gagal semua," ujar keluarga itu. Kini mereka tinggal di sebuah gang sempit di dekat Kalibata. Bukan untuk pindah ke Jakarta tapi untuk berjuang di Jakarta.
Akhirnya mereka bertemu pengacara Kamaruddin Simanjuntak. Kamaruddin pun mempelajari kasusnya. Mewawancarai banyak orang. Termasuk mewawancarai seorang perwira menengah anggota TNI-AD. Tentara inilah yang menyelamatkan keluarga ini dari tekanan tidak habis-habisnya. Termasuk tekanan lewat preman-preman yang digerakkan di Rokan Hilir. Tentara itu yang meminta mereka ke Jakarta. Termasuk yang memberi sangu.
Memperjuangkan keadilan begitu berliku dan berdarah di pedalaman Riau. Tapi tiga wanita ini layak mendapat award sebagai wanita yang paling gigih berjuang untuk mendapatkan keadilan.
Dan Uya Kuya tidak sekadar menampung dan menyuarakan curhat mereka. Uya Kuya meneguhkan sikap akan ikut memperjuangkannya. Ia tahu risikonya. Ia sudah menerima sebagian risiko itu.
Uya Kuya sudah bukan Uya Kuya yang lama. Ia bukan lagi sosok yang tampil di acara TV dengan pura-pura tampil sebagai ahli hipnotis. Atau seorang pemain sinetron. Atau seorang penyanyi hiphop.
Uya Kuya seperti kembali menjadi sosok mahasiswa pejuang Universitas Indonesia, almamaternya di bidang ilmu politik. Putra Bandung bernama asli Surya Utama ini seperti lahir kembali di dunia baru: dunia perjuangan.