Alex Ping
Masalah kurangnya dokter spesialis lagi diatasi, muncul masalah kurang alat, kurang alat lagi dicarikan solusi sudah ribut pengelolaannya. Bahkan keputusan direksi seakan harus sama dengan keputusan dokter 'berwibawa'. Jika hal ini ditanyakan kepada seorang mantan gubernur, maka beliau akan menjawab dengan mudah: "Sebenarnya hal ini sudah saya analisa jauh sebelumnya, mana bisa menteri kesehatan mengatur rumah sakit, menteri kesehatan ya harusnya mengatur rumah sehat."
Jimmy Marta
Kalau SOP pemakaian peralatan saja sampai menkes yg buat, itu terlalu. Harusnya itu bisa dibuat kepala bagian medik nya RS. Paling tinggi sang Dirut nyalah. Jika di rumah sakit tsb ada keberpihakan pd spesialis tertentu untuk menguasai peralatan spesial, ambil langkah spt penunjukan menkes. Dirut nya dipilih bukan dari dokter. Ambil setingkat manager. Yg ahli manajemen.
Leong putu
Baiknya Pak mentri membuat aturan secara menyeluruh untuk rumah sakit. Mulai dari parkir, tarif parkir,cara parkir. Lanjut peraturan mengenai karyawan, usia karyawan, cara berpakaian, cara berbicara, cara melayani, semua hal yang berkaitan dengan karyawan dibuatkan Bapak menkes. Lanjut ke pelayanan. Antrian pasien, Rekam medik, rawat inap, tarif layanan, kamar rawat inap, poli rawat jalan. Apotek, lama antrian ambil obat, senyum petugas apotek. Semua di atur Pak Menkes. Lanjut kebersihan Rumah sakit, cat tembok, kebersihan WC , taman², larangan merokok di RS, kebersihan got, kebersihan dapur. Semua hal yang menyangkut kebersihan diatur Pak Menkes. Alkes, semua yg atur pak Menkes, sampai jadwal pemakaiannya pun harus seijin pak Menkes. Dokter juga harus diatur pak Menkes, jadwal kerjanya juga sekalian. Intinya, semua yang berkaitan dengan pekerjaan di rumah sakit pemerintah.diatur oleh pak Menkes. Agar kepala rumah sakitnya bisa lebih fokus. Lebih fokus melayani istri atau suaminya. ... Akhirnya... Ini komen saya yang paling serius yang pernah saya buat, sambil ngopi sachetan bareng istri. Tanpa madu.
Jo Neka
Harga karcis.parkir juga ya om Leong..
Om Diki
sejak Indonesia merdeka, baru kali kali ini CDI menulis artikel yang bagus.
Yuli Triyono
Soal rebutan memang sudah kodratnya manusia, ada dimana-mana. Di Qatar kemarin rebutan bola, di sini rebutan alat kesehatan modern.
Jokosp Sp
Alatnya bisa canggih. Namun manusianya tidak bisa canggih. Kenapa harus Pak Menteri sampai turun tangan harus bikin aturan pemakaian alat. Bodoh sekali, kurang kerjaan, dan harus ribet seperti itu. Menguras banyak tenaga dan pikiran. Ayak - ayak wae kata orang. Sesederhana pengaturan di swasta. Kalau cukup oleh " Direktur " Rumah Sakit, kenapa harus sampai ke Menteri ?. Aturan dibuat untuk ditaati, bukan untuk dilanggar. Justru ada aturan siapapapun yang melanggar bisa kena sangsi atas pelanggaran itu. Alat dibeli dengan sangat mahal, itu harus produktif, harus maksimal jam pemakaiannya. Uang pembelian harus cepat kembali, dan sebelum depresiasi alat misal 5 tahun habis. Di swasta selalu memperhitungkan itu. Misal beli alat 5 milyar, maka akan dibagi 5 thn x 365 hari/ tahun x kerja alat misal 20 jam/ hari --> Rp 5.000.000.000,- : ( 5 Thn x 365 hari) : 20 jam/ hari = Rp 136.986,-/ jam. Swasta selalu mau untung untuk beli alat baru. Kemudian agar tidak ketinggalan teknologi maka tinggal ngalikan penjualan (sewa) per jamnya misal 4x lipat jadi Rp 136.986,-/ jam x 4 = Rp 547.944,-/ jam ( ini akan lebih besar misal dimasukkan biaya produksi termasuk di dalamnya biaya listrik, biaya spare part, biaya maintenance, dan biaya operator per jam ). Di swasta tidak ada yang sulit mengenai aturan. Jelas dan tegas. Pelanggar harus ada sangsi, termasuk yang tidak bisa mengoperasikan alat jadi produktif. Itu biasa disebut tidak kompeten. Ya dimundurkan, ganti orang lain. Semudah itu.
No Name
Kalo demikian halnya, tambah bbrp persyaratan utk menjadi Dirut RS ; 1. tidak memiliki/mengidap penyakit; jantung, paru, liver, ginjal , usus, THT, 2. Kadar gula & kolesterol normal, tidak hipertensi/ hipotensi Agar sang Dirut tidak berpihak ke salah satu kubu pemakai alat. Salam hormat dari Lombok