Martir Minoritas

Jumat 30-09-2022,05:00 WIB

Liam Then

Presidential threshold 20% bisa menjegal peluang satrio piningit lahir dari partai gurem. Secara esensi kalo dipikir memang tidak demokratis. Ada kesengajaan menghalangi hak orang lain disana. Kalau parliamentary treshold cukup masuk akal, karena platform partai politik pada umumnya ,kurang lebih sama. 

Pryadi Satriana

Majority Rule, Minority Rights. Yg 'mayoritas' (baca: mendapat suara terbanyak) yg 'menjalankan pemerintahan' (baca: berkuasa), yg 'minoritas' tetap 'memperoleh hak2 mereka'. Inilah prinsip utama demokrasi yg sering tidak dipahami, pun oleh hakim2 konstitusi, selain Saldi Isra & Suhartoyo. Argumen2 keduanya bahwa 'ambang batas 20% utk pencapresan itu tidak konstitusional' sangat jelas, masuk akal, dan mudah dipahami! Lulusan SMP pun bisa paham argumen mereka. Saya justru ndhak paham alasan2 penolakan gugatan terhadapnya: 'legal standing' pemohon & 'kerugian konstitusional' yg dialami pemohon sering diajukan MK utk 'mempermasalahkan gugatan yg diajukan.' Sekarang saya yg 'menggugat' hakim2 konstitusi yg menolak gugatan 'ambang batas yg 20% itu': Apakah mereka paham prinsip "Majority Rules, Minority Rights" dalam berdemokrasi? Saya jawab sendiri: mereka paham, tapi lupa - atau bisa jadi 'nglali' (pura2 lupa). Kalau benar2 'lupa' ya 'kebangetan' tapi 'gak papa' - moga2 komen yg 'ngilokno' ini bisa 'ngelingke' (mengingatkan). Tapi kalau sengaja 'nglali', saya mau mengingatkan ini: 'dua kaki hakim itu ada di dua tempat yg berbeda: surga & neraka, silakan pilih menuju ke mana.' Anda2 para hakim bisa 'main hakim' sekarang, tapi nanti ganti dihakimi olehNya. Tetep eling lan waspada. Salam. Rahayu.

Pryadi Satriana

"Bukan lupa nilai-nilai agamanya." Hmm, agama ndhak sekadar 'lupa' atau 'ndhak lupa', tapi 'nglakoni' atau 'ndhak nglakoni'. Ada yg beragama di pikiran, bukan di hati. "Tuhan-nya" pun "yg ada di pikiran", yg "pemarah & penghukum", bukan yg "pengasih & penyayang ". Yg ada di pikiran itu dimanifestasikan/dinampakkan dlm perbuatan. Tindakan 'melarang orang membangun rumah ibadah utk beribadah' jelas menunjukkan "tuhan yg ada di pikiran", ndhak paham bahwa Tuhan menerima penyembahan dari semua orang yg sungguh2 mencari hadiratNya & menyembahNya. Sindrom "tuhan yg ada di pikiran" jg ditunjukkan Walkot Bogor, saat melarang pembangunan masjid, menghentikan & memberi 'police line' di sekeliling masjid, menganggapnya sbg 'daerah konflik'. Hmm. Ndhak peduli gelarnya apa & lulusan mana, saya anggap kalau kayak gitu itu "kurang sinau." Termasuk jg hakim konstitusi yg mempertanyakan "kerugian konstitusional" partai yg memasalahkan 'ambang batas 20% itu'. Tidak saja partai pemohon gugatan itu, saya pun 'merasa dirugikan', mosok hakim konstitusi - apa pun gelar akademiknya - bernalarnya kayak gitu? Saya salut terhadap Saldi Isra, walaupun diusulkan oleh Presiden sbg Hakim Konstitusi, beliau tetap independen, 'jaga jarak' dg kekuasaan. Kalau yg iparnya Presiden saya ndhak tahu. Tapi, pada saatnya kita akan tahu, mana 'emas' mana 'loyang', mana "hakim konstitusi" mana "hakim institusi", hakim pesanan institusi tertentu. Rakyat makin pintar, makin banyak yg kritis. Seharusnya begitu. Salam. 

Rihlatul Ulfa

Melihat mantan jubir KPK menjadi bagian dari tim kuasa hukum Sambo. apakah memang keuangan Febri sedang tidak baik-baik saja? atau ini bagian dari dirinya untuk bisa tampil lebih berani. agak sulit untuk dipercaya, bahwa sebelumnya pun LPSK pernah ditawari suap oleh sambo. tapi rasanya menjadi sangat seru di pengadilan nanti. bagaimana jubir KPK beradu dengan kecerdasan para jaksa. rasa-rasanya jaksa mempunyai lawan yang cukup sebanding. seru untuk melihatnya dipengadilan nanti.

AnalisAsalAsalan

Di teori marketing disebut, "Perception ia more than reality." Sampean sudah termakan itu. Setiap lulusan sekolah atau pesantren terkenal pasti hebat. Lulusan yang tidak terkenal pasti tidak hebat. Kalau rata-rata lulusannya saya setuju, tetapi pribadi-pribadi bisa diadu. Orang tua pun sama, termakan persepsi Sekolah Islam Terpadu. Namanya saja sudah menjual, apalagi ditambah biaya pendidikan cukup mahal. Orang tua jarang sekali memperhatikan detail. Itulah kehidupan. Hahahahaha.

Rihlatul Ulfa

Mereka yang pintar masuk 5-10 universitas terbaik. setidaknya mereka mempunyai pemikiran di atas rata-rata dari mereka yang biasa-biasa saja. mereka terbiasa dididik untuk berdiskusi, mengimplementasikan secara langsung. mereka menyerap banyak ilmu. kebanyakan kenapa mereka tidak mau jadi guru di Indonesia karena masalah kesejahteraan guru yang tidak begitu di anggap. kata 'guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa' itu sangat keliru. harusnya guru di kasih intensif habis-habisan. iya yg saya katakan di atas. bahwa siapapun bisa jadi guru, jadi generasi kita begitu-begitu saja. di ajarnya begitu-begitu saja.mereka dengan lulusan terbaik, akan banyak memberikan dampak inspiratif yg lebih besar. anda bisa melihat enggame di youtube. dengan perbincangan antara Gita Wirjawan dan wakil CEO ruang guru, juga dengan CEO Zenius dan yg lainnya. silahkan anda menonton dulu. :) oh ya. feodalisme masih mencengkram sistem pendidikan kita, padahal pintar dihasilkan dari ketajaman logika. ini tentu membungkam mereka generasi yang mempunyai potensi yg tinggi. Amerika filosofinya adalah kebebasan manusia. Prancis paradigma dari pendidikan dia adalah solidaritas-kesetaran manusia karena ia berbasis 'liberte, egalite, fraternite' kalau guru tidak berkualitas hampir pasti muridnya tidak berkualitas. yg harus jadi guru di Korea harus 5 persen teratas, di Singapura 3 persen teratas. lihatlah statistik generasi kita dan negara kedua itu. anda sudah tahu jawabannya.

*) Dari komentar pembaca http://disway.id

Kategori :