Oleh: Hasan Aspahani
BEBERAPA kali saya menelepon Pak Rinto. Dia tak mengangkat. Saya mengirim SMS. Saya mau bertemu dengannya. Di saat-saat seperti ini, saya memerlukan pendapatnya. Seperti biasa. Tapi rasanya lebih dari sekadar minta pendapat itu kebutuhan saya. Saya memerlukan nasihat seorang yang saya tuakan. Orang yang menggantikan orang tua saya. Sosok yang nyaris tak pernah saya punya.
Pak Rinto membalas SMS: "Saya sedang berobat di Singapura. Nanti saya hubungi." Saya membalas SMS-nya dengan ucapan doa agar beliau lekas sembuh. Saya tak bertanya beliau sakit apa. Dengan jawaban singkat begitu, bahkan tak mengangkat telepon berarti beliau sedang tak ingin dihubungi. Mungkin sakitnya berat dan beliau benar-benar perlu istirahat.
Pak Rinto setahu saya jarang sakit. Orangnya sehat. Sangat sehat untuk orang tua seumur dia, hampir 70 tahun umurnya. Disiplinnya masih seperti polisi yang aktif. Olahraganya golf. Pernah dia ajak saya ikut dia main golf. Kebetulan waktu itu saya sedang bikin tulisan tentang perkembangan pariwisata, termasuk lapangan golf di Borgam. Dia ajak saya ke Penangsa. ”Ini biaya membership-nya setahun berapa ya, Pak?”
”Saya tak pernah tahu. Saya itu dikasih membership semua lapangan golf di sini. Gratis,” katanya lantas tersenyum. ”Makanya, kalau mau belajar main golf, biar saya ajarin. Main sama saya saja.”
”Nggak cocok, Pak. Nanti kalau saya bisa-bisa kecanduan saya. Kalau bapak nggak ada kacau saya...,” kata saya.
”Kalau kamu serius nanti saya mintakan membership gratis seumur hidup buat kamu, Dur.”
”Wah, jangan, Pak. Saya nemenin Bapak aja...,” kata saya.
Pak Rinto makin tertawa, ”dasar wartawan ndeso kamu itu ya.” Saya juga tertawa. Karena ndeso itu saya susah sekali mengingat apa itu tee, pair way, green, hole in one, par, bogey, birdie. Berulang-ulang caddy girl yang mendampingi kami menjelaskan. Saya mencatat sebatas untuk tulisan saya saja.
Berita pembongkaran makam Putri membuat oplah Dinamika Kota bertahan. Tak naik, tapi tak juga turun. Angka retur eceran sedikit naik. Hendra, manajer pemasaran kami, minta oplah cetak tak diturunkan. Ia sedang bikin promosi untuk menggaet pelanggan baru. Beberapa daerah perumahan baru yang sudah ramai penghuni selama seminggu diberi koran gratis. Lalu dihubungi apakah mau berlangganan. Kalau dapat 30 persen saja dari mereka yang disasar menjadi pelanggan baru, program promosi itu berhasil.
”Banyak yang komentar begini, oh, kalian koran yang musuhnya AKBP Pintor, ya?” kata Hendra.
”Terus, langganan, nggak,” tanya Bang Eel.
”Ada yang langganan, ada juga yang nggak,” jawab Hendra. ”Tapi mungkin sudah perlu kita kurangi juga headline pembunuhan Putri. Sudah bosan juga pembaca kita.”
”Gimana menurutmu, Dur?”
”Apa sudah tidak menarik soal pembunuhan Putri? Rasanya masih. Sampai vonis masih bisa menarik. Apalagi kalau AKBP Pintor sudah jadi tersangka. Masuk sidangnya nanti drama lagi...”