”Sudah berapa hari di sini, Ferdy,” tanyaku.
”Sudah seminggu,” katanya.
”Baca koran kan? Gimana menurutmu koran-koran di sini.”
”Tinggi juga tingkat kriminal di kota sekecil ini, Bang. Berita istri polisi yang terbaru itu kayaknya bakal jadi berita besar,” kata Ferdy. Ia lalu menjelaskan analisis dan mengajukan teorinya. Saya sependapat.
Terakhir saya menyunting berita untuk Metro Kriminal, istri polisi itu menghilang bersama anaknya dan pembantu perempuannya. Menghilang begitu saja. Kami mewawancarai tetangga-tetangganya, sekuriti penjaga perumahan, semua seakan menutupi apa yang mereka tahu.
Wartawan saya ditegur oleh humas Polres, diperingatkan agar memberitakan hanya keterangan resmi dari mereka. Kami tak pedulikan, selama tak melanggar kaidah jurnalistik dan kode etik, kami akan temukan informasi tentang apa pun dengan cara-cara dari sumber yang tak melanggar aturan.
Ferdy langsung bekerja. Ia jenis jurnalis yang sabar, tekun, dan mudah diterima narasumber. Pengalamannya bekerja di wilayah berkonflik mematangkannya. Ia amat berhati-hati dengan fakta. Paling tidak ia akan mencari satu sumber pembanding. Untuk hal-hal peka, kepada pemberi informasi ia tanyakan lagi kepastiannya. Ferdy terus menabung informasi itu.
Koran kami belum terbit, tapi tinggal menunggu hari, begitu juga kami dengar koran dari grup pesaing kami, Podium Kota. Pada hari H-1 terbit kami sudah punya berita untuk seminggu, berita tentang hilangnya istri polisi itu. Sampai hari itu, kami masih menyebut kata hilang, bukan pembunuhan, faktanya memang baru hilang.
Ferdy mewawancarai salon mahal tempat langganan istri polisi itu. Ia memang mantan model di ibukota. Sekolah di universitas swasta terkenal mahal. Sebagai anak bungsu petinggi kepolisian gaya hidup yang mewah itu bisa dimaklumi. Ferdy juga mendapatkan info dari butik langganan istri polisi itu. Berapa juta sekali belanja, dan berapa habisnya tiap bulan. ”Mereka kira saya polisi kayaknya, Bang,” kata Ferdy.
”Wah, jangan menyamar, dong. Nggak boleh. Harus bilang kita wartawan dari media mana. Jurnalis harus menunjukkan identitas sebagai wartawan, itu kode etik nggak bisa kita langgar…,”
”Oh, iya, bang. Saya tahu itu. Saya bilanglah, dari Dinamika Kota meskipun korannya belum ada, tapi rata-rata orang yang saya wawancara sudah tahu bakal terbit koran baru kita ini,” kata Ferdy.
Saya tertawa. ”promosi sambil liputan, ya…”
”Saya tawarin langganan, malah, Bang,” kata Ferdy.
Dengan dua koran yang harus dilayani oleh satu mesin maka berlaku aturan deadline yang ketat. Metro Kriminal cetak lebih dahulu, dengan deadline yang lebih cepat tentu saja, menyusul Dinamika Kota, koran kami. Ada waktu bagi kami lebih leluasa untuk menyunting berita, kami pun bisa menunggu perkembangan berita terakhir dari Jakarta dan juga berita lokal.
Hari-hari kami menegang menjelang terbit. Apalagi saya. Semuanya seperti saya pertaruhkan untuk edisi perdana itu. Konsep koran kami meniru yang sudah dipakai di grup kami, apa yang saya bilang sebuah gagasan sederhana tapi bisa dicatat sebagai sebuah inovasi besar.
Saya ingat dulu di Suara Balikpapan pada awalnya pun belum menerapkan konsep pembagian sesi itu. Jadi koran dibagi tiga atau minimal dua sesi. Sesi nasional dan sesi lokal. Ini bukan sekadar pembagian cakupan berita, tapi terkait deadline dan giliran cetak. Sesi lokal digarap dan dicetak lebih dahulu, lalu menyusul sesi nasional atau sesi utama. Sederhana tampaknya, tapi efeknya terbangun kepekaan dan pengelolaan isu. Berita lokalpun apabila cakupannya besar bisa masuk di sesi utama itu.