”Kenapa dia baru lapor kehilangan istrinya setelah tiga hari, Pak?”
”Kamu lebih tahu.”
”Apa istrinya masih hidup?”
”Kamu lebih tahu.”
”Kalau sudah mati, siapa yang membunuh?”
”Aku tunggu berita di koranmu aja,” kata Pak Roni.
Pak Roni berhati-hati bicara. Pasti dia tahu sesuatu.
Seseorang dengan tanda nama panitia mendekati kami. Lalu dengan ramah memanggil nama saya. ”Pak Abdur, bisa ikut saya. Dipanggil ke ruangan VIP oleh Pak Risman. Pak Eel dan Pak Indrayana ada di sana, Pak.” Aku tinggalkan Pak Roni yang juga harus segera beranjak dari situ, dia kali ini menjadi sopir pak menteri.
Di ruangan VIP itu hanya ada Bang Ameng dan Bang Eel. Bang Ameng kasih satu goody bag dan map berisi data rilis berita. Kami berbincang sebentar, basa-basi penghangat, sekadar pelepas kekakuan. Dia minta tunggu sebentar karena Mr. Stephen Gwan, bos Maestrochip yang baru diresmikan itu hendak berkenalan dengan saya. Saya tak tahu apa perlunya. Toh dia sudah bertemu dengan Pak IDR dean Bang Eel.
Tak lama dia muncul, bilang terima kasih. Saya ucapkan selamat. Lalu melanjutkan basa-basi sampai ia keluar dari ruang VIP. Bang Ameng memberi isyarat pada Bang Eel agar membiarkan kami berdua.
”Ini pabrik nyaris saja gagal. Nyaris pindah ke Vietnam. Kalau terjadi, kita kehilangan investasi besar. Kita kehilangan lowongan kerja sepuluh ribu operator,” kata Bang Ameng.
”Wah, untunglah, Pak,” kata saya datar. Tak bisa saya lekas mencerna dan menentukan sikap. Apakah keadilan hukum baru satu orang pantas dikorbankan untuk pekerjaan bagi sepuluh ribu orang?
”Meskipun saya harus pasang badan, Dur,” kata Bang Ameng dengan sedikit berhati-hati. Saya tak paham. Diam saya kala itu adalah diam yang menuntut penjelasan.
”Ingat otopsi Sandra? Berita yang tak naik di koranmu dulu?”
”Iya. Apa hubungannya, Bang?”
”Semua orang pasti mengira saya yang menghamili dia. Dia simpanan saya. Semua sepertinya mengarahkan kecurigaan ke saya. Meskipun saya sebenarnya hanya pasang badan.”