Bang Jon yang sedang libur datang menemuiku, tak lama setelah api padam. Ia menolongku ke mana-mana berurusan dengan storm-nya. Juga mengantar anak-anak pada sore harinya ke Watuaji. Nenia juga ikut membantu dengan amat cekatan, ia bahkan bawa satu mobil lain untuk angkut barang-barang panti.
Bila disusun daftar 100 pemilik ponsel pertama di Batam, Bang Jon masuk. Bila diperpendek menjadi 50 pun saya kira masih ada dalam daftar. Ketika operator seluler pertama di negeri ini dicoba di kota kami, seingat saya, Bang Jon sudah petentang-petenteng dengan Ericson sepergelangan tangan bayi. Dengan ponsel itulah dia menelepon ke sana kemari, cari info tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik pembakaran panti.
Saya yakin tak ada hubungannya dengan saya atau Bu Yani, atau panti yang sudah ada belasan tahun. Pasti terkait kepemilikan properti tersebut. Atau mungkin lahan. Saya dengar memang ada masalah dengan kepemilikan lahan di tempat rumah panti itu berdiri. Padanya saya bercerita tentang dua tamu yang baru saja datang. Bang Jon lalu menelepon beberapa orang. Juga pengacara Restu Suryono.
“Yang datang tadi itu Rully dan Nora. Memang pengacara dan kliennya, pengusaha, pengusaha barulah. Masih baru merintis. Nora itu juga anaknya Pak Doni, pemilik rumah ini. Tapi yang selama ini mengambil sewa kan bukan dia, iya, kan?”
“Ya, Mas. Anaknya yang laki-laki,” kataku.
Dari Mas Jon saya dapat info lengkap. Ini soal perebutan aset warisan antara Nora dan saudaranya laki-laki itu. Sampai gugat-gutatan. Nora pinjam sertifikat rumah ke kakaknya buat jaminan proyek. Dia didesak oleh mitranya. Nah, anaknya yang laki-laki mengulur waktu untuk menyerahkan dengan alasan masih disewa panti.
”Saya kira yang lempar bom itu orang suruhan Nora juga, supaya kalian lekas pindah. Dia bisa kuasai rumah ini. Udah terdesak sekali, tapi ya jahat sekali….,” kata Bang Jon.
”Apa Pak Doni tak tahu?”
”Pak Doni kabarnya meninggal bulan lalu itu.”
Soal lahan memang seperti bara api yang tertimbun jerami kering di kota ini. Panas. Dan dengan mudah menyala jadi api. Saling klaim, berebut adu legalitas, sempadan batas yang tumpeng-tindih. Macam-macam persoalan.
Bang Jon pergi. Dia tak bertanya soal tawaraannya pindah ke ”Podium Kota”. Pasti tak nyaman bertanya soal itu di saat seperti itu. Ia minta Nenia tinggal dengan mobil, supaya bisa antar saya hari itu ke mana-mana. Saya tak menolak, saya memang sedang perlu sekali perpanjangan kaki hari ini dan mungkin beberapa hari ini.
Apalagi akan disopiri oleh Nenia (saya belum bisa menyetir). Sebagai lelaki saya merasakan ada kenyamanan bersama seseorang seperti dia ke mana-mana. Melayani, menemani, memastikan segala yang harus diselesaikan hari terlaksana dengan sebaik-baiknya. Nenia mengambil peran itu selama menemaniku. Sedikit informasi tentang dia kudapatkan dari perbincangan di sela-sela urusan kami. Dia bisa dikatakan masih kerabat Bang Jon, lulusan universitas negeri di Malang (ah, Malang lagi… saya teringat misi kedua kedatanganku ke kota ini, yang semakin tipis harapannya), baru saja tes terakhir untuk menjadi staf PR dan marketing di Hotel Nagata Plaza.
”Tinggal nunggu masuk,” kata Nenia dengan senyum dan kemerduan yang tak dibuat-buat dan membuat kemanisan wajah dia makin memikat.
Bang Eel juga datang ke panti. Dia bolehkan aku untuk tak masuk hari itu sampai urusan kebakaran beres. Saya memperkenalkan Nenia pada Bang Eel. Menceritakan serba sedikit apa yang kutahu, sekadarnya. Bang Eel, tak mudah menyembunyikan perasaan. Ekspresif. Dia tampak amat tertarik padanya. Nenia kulihat tak terlalu nyaman.
”Malam ini tidur di mana, Dur,” tanya Bang Eel.
”Di tempatku. Iya kan, Mas Dur?” kata Nenia, seperti menggoda, tapi dengan kewajaran yang terukur, tak sampai terdengar jadi genit dan murahan. Ia menggoda Bang Eel, bukan aku.