Oleh: Hasan Aspahani
”Hei, Dur. Selamat, ya…,” kata Bang Ado, berdiri menyalami dan memberi selamat pada saya. Bang Ado, kurang lebih seusia Bang Eel. Sebelum menjadi GM dia juga wartawan. Orangnya tenang. Administrasinya rapi. Dalam hal keuangan pun dia ketat. Bukan pelit, tapi rasional. Itu yang membuat ”Metro Kriminal” berkembang bagus sejak tahun pertama. Meski lambat dalam hal kenaikan oplah.
”Kapan berangkat ke Medan, Bang?” tanyaku. Aku tahu dari Bang Eel, Bang Ado dapat tugas baru bikin koran di ibu kota Sumatera Utara itu. Tugas yang berat dan menantang. Di sana sudah ada tiga koran besar yang berusia lama, dengan segmen pembaca yang loyal.
”Dua hari lagi. Saya sebenarnya agak ragu menerima tawaran ini, tapi bagaimana bisa menolak. Di grup kita ini perintah ya perintah. Harus patuh. Lagian kalau aku tak ke Medan, Eel tak naik, kau pun tak akan dipromosikan secepat ini,” kata Bang Ado.
Kami bicara macam-macam, sedikit sejarah ”Metro Kriminal” di mana dia bisa disebut sebagai perintisnya, dan rencana lain tapi belum terlalu pasti, rencana bikin satu koran lain lagi di kota kami. Itu, kata Bang Ado, tergantung perkembangan ”Metro Kriminal”.
”Kalau oplah kita sudah 30 ribu, bisa pasang mesin yang lebih besar, nah, biasanya kita akan buka koran baru, supaya mesin efisien,” kata Bang Ado. ”Metro Kriminal” dimulai dengan lima ribuan. Dua tahun pertama oplah hanya berkisar di antara angka itu. ”Waktu kau masuk itu oplah kita sekitar tujuh ribu. Dalam enam bulan, karena berita Sandra itu, kita bisa sampai 15 ribu sekarang,” kata Bang Ado.
”Benar-benar karena berita itu, Bang?”
”Iyalah, karena apa lagi? Jualan koran ini kayak pisang goreng, kalau enak, orang datang membeli. Kalau nggak menarik, dingin, ya disorong-sorong ke muka orang juga nggak ada yang mau. Sederhana saja, kok.”
Saya mengangguk-angguk saja. Lumayan dapat sedikit tambahan wawasan pemasaran. Bang Eel pernah mengajari saya tentang perumpamaan juru masak itu. Reporter belanja bahan, redaktur yang masak, redpel yang mengatur penyajiannya dan merencanakan besok mau memasak apa lagi. Saya sekarang ada di posisi pengatur penyajian dan perencanaan. Kalau bahannya bagus, masaknya enak, disajikan bagus, pasti laris, kata Bang Eel.
Di ruangannya, hari itu, Bang Ado juga memberi saya SK jabatan baru. Ditandatangani oleh CEO. Bangga juga rasanya. Saya melihat ke angka gajinya, itu lebih penting. Tidak besar, tapi tidak juga kecil. Jadi wartawan tak membuatmu kaya, tapi tak akan bikin kamu miskin juga, kata Bang Eel suatu hari.
Angka gaji itu menari-nari di dalam kepala saya, membuat saya berhitung, sepertinya sudah bisalah saya berpikir untuk menikah. Ini kota yang berbahaya kalau terus-terusan melajang hidup sendirian. Ustad Samsu berkali-kali mengingatkan itu. Kata beliau, jangan terlalu cemas dengan penghasilan. Bukan besarnya yang penting. Tapi berkahnya. Dan menikah adalah jalan untuk memanen keberkahan.
Bang Ado sekali lagi memberi selamat sebelum aku keluar dari ruangannya. Saya sedikit terbebani oleh pesannya yang terakhir, ”hati-hati saja sama Eel,” katanya.
Saya bertanya, ”Kenapa, Bang? Saya malah sejak awal agak berhati-hati sama Mas Jon…”
”Jon sudah selesai, sudah bisa kamu atasi itu. Bertahun-tahun koran ini tergantung sama dia, sejak kamu ada, tak bisa lagi dia mengatur berita semau dia. Sandra itu buktinya. Kalau tak ada kamu, Dur, tak akan bisa jadi semenarik itu liputan koran kita,” kata Bang Ado.
”Kalau Bang Eel kenapa?”