Siapa Membunuh Putri (3) - Kepiting Saus, Anak-anak Panti, dan Sensor Berita

Selasa 06-09-2022,05:30 WIB

Bu Yani, pengurus panti memintaku bicara soal sewa panti yang habis bulan depan dan harus diperpanjang. Pengurus belum punya uang cukup. Bu Yani penggagas dan pendiri panti ini. Mungkin karena dia tak pernah punya anak. Suami pertamanyi meninggal, suami keduanyi meninggalkannyi karena tak punya anak. Dia masih kerabat Ustad Samsu. 

“Saldo di kas panti ada berapa, Bu Yani?”

“Cukup buat biaya hidup anak-anak selama tiga bulan. Untuk perpanjangan sewa sama sekali tak ada,” kata Bu Yani. 

Sejak tinggal di panti saya membantu Bu Yani memikirkan biaya operasional panti. Hitung-hitung itu pengganti biaya sewaku tinggal di sini.

“Nanti saya coba cari ya, Bu…”  Saya ingat ada beberapa donatur tidak tetap yang sudah beberapa bulan tak dihubungi. Saya mencoba mengingat-ngingat siapa saja. Mungkin hari itu aku harus menemui Pak Restu Suryono, pengacara terkenal, dan politisi berpengaruh itu. Atau Pak Roni Sirait, pensiunan reserse polisi, yang baik itu. 

Sampai aku berangkat ke kantor “Metro Kriminal”, aku masih berpikir kenapa info soal kehamilan Sandra itu tak muncul dalam berita. Di kantor, Mila, sekretaris redaksi kami sedang merekap produktivitas berita wartawan. “Wah, Mas Dur paling tinggi lagi, nih. Bonus lagi nih, Mas,…” kata Mila. Aku tersenyum. Mila gadis yang bekerja dengan baik, telaten, rapi. Dia anak Belakangpadang, pulau tetangga.  “Bang Eel sudah datang? 

“Ada di ruangannya,” kata Mila. “Eh, Mas Dur, ini iklanmu ya?” 

Aku memperhatikan iklan Patron’s Café. Ada band live tiap malam di sana. Semalam memang aku melihat ada band yang main di bagian luar café, bagian yang menghadap laut. Asyik juga kelihatannya. 

“Bukan,” jawab saya.

“Kata Bang Eel ini iklanmu, Mas”. 

Bang Eel nongol dari pintu ruang kerjanya. Dia memanggilku masuk. Menyuruh saya duduk dan menyerahkan sebuah amplop. Aku bertanya amplop apa itu.

“Ini komisi iklan buatmu. Iklan Patron’s Café,” kata Bang Eel. Aku langsung teringat iklan yang tadi ditunjukkan Mila.

“Bang Ameng mau pasang tiap bulan. Nilainya minimal sebesar itu. Bayar di depan. Itu iklanmu, saya sudah bilang ke bagian iklan. Kamu masih tinggal di panti?” tanya Bang Eel.

“Masih, Bang….” 

“Sampai kapan? Ini kamu terima aja. Cari koslah ya. Di sekitar kantor kita banyak ruko yang dikoskan. Masak tinggal di panti terus.”

Aku jadi kehilangan selera untuk bertanya tentang berita Sandra. Aku ambil amplop itu dan terbayang senyum di wajah Bu Yani, dan wajah anak-anak panti, Rido dan kawan-kawannya. Rasanya uang komisi iklan ini cukup untuk perpanjangan sewa rumah untuk panti. “Mas Dur, dipanggil Bang Ado, ditunggu di ruangannya,” kata Mila. (bersambung)

Kategori :