Memasuki minggu kedua aku menulis berita sendiri. Selama ini saya hanya numpang kode di berita Bang Jon. Meskipun saya juga yang mengeditnya sebelum diserahkan ke Bang Eel. Saya menuliskan deskripsi fakta apa yang saya lihat, saya melihat korban ditemukan di TKP. Tak ada foto, karena waktu itu kami tak boleh memotret. Siapa yang membunuh belum ditemukan. Koran-koran lain, termasuk koran kami sibuk memberitakan orang-orang membantu ibu dan adik-adik Sandra.
Kalau orang cermat membaca berita saya di “Metro Kriminal” itu maka mereka bisa menyimpulkan bahwa tak mungkin motifnya perampokan dan pemerkosaan. Tak ada barang hilang, tak ada tanda-tanda perlawanan. Ini pembunuhan berencana. Saya diam-diam mulai kenal dengan beberapa penyidik, dan mendapatkan informasi dari mereka. Diam-diam maksud saya tanpa lewat Bang Jon.
Hari berikutnya saya memberitakan jarak dari kampus dan lokasi penemuan mayat. Waktu terakhir kali orang melihat Sandra di kampus dan hari ketika mayatnya ditemukan, juga perkiraan kapan dia meninggal.
“Ada berita besok?” tanya Bang Ameng, sambil menanyai kami mau minum apa, dan menyuruh pelayanan mengambilkannya.
Saya mau menjawab tentang hasil otopsi itu. Ini informasi baru yang memenuhi 13 rukun iman berita yang jadi standar penilaian berita di grup surat kabar kami. “Ada, Bang…. “
Belum saya bicara lebih jauh, bang Eel memotong. Saya menangkap sesuatu yang mencurigakan. Bang Ameng mempersilakan kami makan. Kalau mau nambah apa-apa silakan pesan lagi saja, katanya. Saya makan lahap karena memang sudah sangat lapar. Tapi kecurigaanku tadi membuat aku berpikir bahwa makanan mewah dan pasti mahal ini bisa terasa lebih sedap kalau saja perasaan itu tak ada dalam kepalaku.
Sehabis makan, Bang Eel bertanya lagi soal tawarannya padaku menjadi asredpel. Ia jelaskan berapa kenaikan gaji yang akan kuterima, apa tugas dan tanggung jawabku.
“Kamu boleh sesekali ke lapangan. Jangan di kantor terus, malah tak bagus. Tapi pastikan pekerjaan perencanaan, editing, stok berita cukup. Ingat soal nabi kedua itu.”
***
Headline “Metro Kriminal” masih tentang Sandra. Tapi bukan soal kehamilan itu. Bagian itu hilang. Pasti Bang Eel yang mengeditnya. Yang diangkat adalah hasil wawancara saya dengan perusahaan asuransi di mana Sandra bekerja sebagai agen. Dia adalah agen terbaik dengan penghasilan yang masuk akal kalau dia bisa kuliah kampus swasta yang terbilang mahal itu dan menghidupi adik dan ibunyi. Saya sudah punya perencanaan panjang untuk menjaga isu pembunuhan Sandra ini: kuliah terakhir yang dia ikuti, buku terakhir yang dia pinjam di perpustakaan, klien-klien pembeli polisi asuransinyi dan siapa-siapa saja yang dia prospek.
Anak-anak panti berebut minta giliran membaca “Metro Kriminal”. “Berita apa lagi, Bang Dur? Ini masih Bang Dur yang meliput kan?” tanya mereka. Selalu begitu. Tiap hari. Seakan tak percaya wartawan yang menuliskannya tinggal di rumah panti bersama mereka. Sejak awal datang ke kota ini, aku mencari panti asuhan. Tak jauh dari kantor “Metro Kriminal”. Ustad Samsu yang memberi tahu tentang Panti Asuhan Abulyatama ini.
Saya serahkan koran pada Rido. Anak paling tua di antara anak-anak panti lain. Dia yang membacakan untuk adik-diknya.
“Do, kepiting yang abang bawa malam tadi sudah dipanaskan?”
“Sudah, Bang…”
“Buat makan siang, ya..”
“Iya, Bang….” Kata Rido.