Tiga: salah asuh.
Empat: salah tafsir.
Lima: salah tata kelola.
Satu, dua, tiga, empat, baiknya Anda baca sendiri. Toh hanya beberapa halaman. Itu pun sudah dengan gambar dan karikatur.
Saya sangat tertarik dengan Pancasalah kelima: salah tata kelola.
Laksamana perlu menegaskan: 'salah tata kelola' berbeda dengan 'salah kelola'.
Salah tata kelola, tulisnya, lebih destruktif daripada salah kelola.
Padahal itulah yang terjadi di berbagai bidang kehidupan bernegara kita.
Rupanya Laksamana sangat gelisah dengan ''penemuannya'' itu. Ia pikirkan dalam-dalam. Ia tuliskan dalam sebuah rumusan Pancasalah.
Laksamana lantas menuangkan hasil terpenting renungannya: "salah tata kelola yang dikelola dengan baik hasilnya lebih membahayakan".
Ia memberi contoh sederhana. Seorang ibu tiri punya anak kandung dan punya anak tiri. Dia tidak akan bisa adil kalau membagi satu pisang untuk dua anak itu. Maka sebaiknya Sang ibu jangan diberi tugas membagi pisang. Itulah tata kelola yang baik.
Harusnya orang lain yang memotong pisang itu. Yang tidak ada kepentingan apa pun dengan dua anak itu.
Kalau pun salah satu dari anak itu yang memotong pisang, anak satunya yang harus diberi hak memilih lebih dulu. Dengan demikian yang memotong pisang akan lebih hati-hati. Kalau memotongnya besar sebelah, maka potongan yang lebih besar akan diambil yang lebih dulu memilih. Maka yang memotong rugi sendiri.
Itu juga disebut tata kelola yang baik.
Tata kelola sebuah negara harus baik. Sehingga kalau ada penyelewengan dalam pengelolaannya bisa dikembalikan ke tata kelola yang baik.
Maka kalau negara ini belum bisa maju harus dilihat tata kelolanya. Misalnya dalam hal demokrasi. Bagaimana bisa peraturan yang menyangkut partai, diputuskan sendiri oleh DPR yang dikendalikan oleh partai.