“Jangan sampai misalnya selalu defisit dijadikan alasan. Daripada susun perda, sudah saja komunikasi lintas stakeholder yang punya kepentingan solusinya gimana. Orientasi untuk kelangsungan semua urusan. Buat apa diperdakan kalau toh diganggu lagi. Karena ini dirancang sejak 2019, berarti kalau dengan sekarang akan tiga kali perubahan perda, substansi perdanya akan hilang,” ungkapnya.
Saat ini, lanjut Ijang, pihaknya masih menunggu informasi formal dari pemkot maupun DPRD berkenaan urusan tersebut. Sebab, pihaknya sebatas user dari kebijakan anggaran yang ditetapkan penyelenggara pemerintahan.
“Tapi, meski seperti itu, tidak juga harus melakukan kebijakan sepihak dalam menetapkan perda. Kita penyelenggara ketika diinformasikan tentu akan merasionalisasi kembali atau revisi anggaran yang disusun. Yuk analisa setiap lembaga, apakah rencana ajuan anggaran sudah efektif-efisien atau belum, kan kajian sampai kesana juga belum ada,” ujar Ijang.
Kalau analisa itu ditempuh, kemudian ternyata alokasi riil yang dibutuhkan selisihnya tidak terlalu signifikan, otomatis pengusulan perubahan Perda tentang Dana Cadangan Pilkada tak harus dilakukan. Cukup dengan mengubah kebijakan publik saja.
“Kalau begini kan tak sehat. Repot anggaran besar bertumpuk di ujung. Sebab, ini bukan wilayah diskusi, tapi harus wilayah orientasi solusi sebelum perubahan perumusan komunikasi dulu dengan penyelenggara. Kalau misal sudah muncul oh riilnya sekian, tak usah ubah perda tentunya,” pungkasnya.