Masa depan kehidupan di sini akan begitu-begitu saja. Tentu sulit sekali meningkatkan kualitas kampung di sini. Mahal sekali. Apalagi untuk membangun infrastruktur seperti jalan. Luar biasa mahal.
Jalan yang mahal itu pernah dibangun. Sukses. Sepanjang 22 km. Di atas rawa. Konstruksinya beton. Mulus. Sepi. Serasa di jalan tol di atas laut di Bali.
Saya kagum. Di atas rawa di pedalaman Kaltim sejauh ini ada jalan seperti itu. Semuanya –Jembatan Martadipura dan jalan 22 km itu– dibangun ketika Kutai Kartanegara dipimpin Bupati Ahmad Syaukani. Langkahnya begitu besar untuk memajukan pedalaman. Lima kecamatan terisolasi langsung terhubung dengan kendaraan darat.
Syaukani pula yang membangun jembatan serupa nun jauh itu. Yang disebut Jembatan Abu Nawas tadi. Waktu tidak cukup. Jalan mahal penghubungnya belum terbangun. Syaukani keburu ditangkap KPK.
Kelak, ketika Syaukani di dalam penjara, putrinya, Rita Widyasari terpilih jadi bupati Kukar. Dengan perolehan suara lebih tinggi dari bapaknyi. Gelarnyi doktor. Prestasinyi juga tidak kalah baik dari bapaknyi.
Di periode keduanyi Rita juga ditangkap KPK. Kini dia di akhir hari-harinyi di penjara.
Usia Rita kini baru 48 tahun. Masyarakat Kukar kelihatannya masih merindukannyi. Partai-partai masih akan memperebutkannyi. Itulah hasil lain kunjungan saya kali ini.
Tujuan perjalanan saya masih jauh dari jembatan itu. Masih tiga jam lagi. Di atas jalan tanah yang berkubang-kubang. Jalan ini begitu beratnya. Pun untuk mobil kelas Pajero. Dan saya masih harus melewatinya nanti sekali lagi.
Sebelum pukul 5 sore saya sudah tiba kembali di Samarinda. Sebelum berbuka puasa saya masih sempat menengok tokoh Kaltim yang legendaris ini: Jos Soetomo. Terlahir Chiang Ching Tek.
Ia Raja Kayu di masa lalu. Ia Raja Hotel dan properti di masa kini.
Ia lahir di Senyiur, 77 tahun lalu. Senyiur adalah salah satu dari daerah terisolasi di pedalaman Kutai. Juga masih jauh dari Jembatan Martadipura.
Saya ceritakan perjalanan saya tadi kepadanya. "Zaman saya kecil, perlu dua minggu untuk sampai di sana," katanya. "Hanya bisa naik perahu yang didayung," tambahnya.
Saya kenal Jos Soetomo sejak saya masih jadi aktivis mahasiswa di Samarinda. Ia sudah pengusaha besar. Ketika saya pindah ke Surabaya masih juga sering bertemu. Di masa tuanya, Jos aktif di Masjid Cheng Ho.
Saya pun diberi hadiah kopiah merah bertulisan Masjid Cheng Ho. Cocok untuk Lebaran besok.
Minal Aidin wal Faizin.
Mohon maaf lahir batin. (Dahlan Iskan)