JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pemerintah akan mereformasi perpajakan untuk optimalisasi pendapatan negara. Hal itu juga dilakukan untuk mendukung kebijakan fiskal 2022.
Diungkpakn Sri Mulyani, upaya tersebut akan ditempuh dengan memperluas basis perpajakan, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, dan mengoptimalkan pengelolaan aset serta inovasi layanan.
''Sehingga angka tax ratio dapat diperbaiki dalam jangka pendek dan menengah untuk mendukung penguatan ruang fiskal,'' ujar Sri Mulyani Dalam rapat paripurna ke-18 DPR RI masa persidangan V tahun sidang 2020—2021 Kamis (20/05/2021) lalu.
Wakil Ketua DPR Bidang Ekonomi dan Keuangan Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, revisi UU KUP dan kepastian tax amnesty dapat meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak.
''Ini menjadi instrumen bagi pemerintah dalam mempercepat pemulihan ekonomi nasional dan terwujudnya kesehatan APBN dengan defisit anggaran kembali ke 3 persen pada 2023,'' tegasnya.
Sufmi menyatakan, surat presiden (surpres) yang meminta pembahasan revisi tersebut sudah sampai di DPR. Sesuai mekanisme, surat itu akan dibahas lebih dulu dalam rapat pimpinan dan selanjutnya dibawa ke badan musyawarah (bamus).
''Terkait wacana kebijakan tax amnesty jilid II ini, DPR akan mengkaji dan membahas lebih detail di komisi teknis terkait, yaitu komisi XI,'' jelas Sufmi.
DPR juga akan menerima berbagai masukan dari akademisi, pengusaha, dan pelaku UMKM serta memperhatikan catatan evaluasi pelaksanaan tax amnesty sebelumnya.
Sementara itu Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam kesempatan sebelumnya menuturkan, Presiden Joko Widodo telah berkirim surat kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), termasuk rencana perubahan tarif PPN.
''PPN masih ada pembahasan karena ini menjadi bagian RUU perubahan kelima tentang KUP dan tata cara perpajakan. Itu yang diatur memang ada di dalamnya PPN, termasuk PPh orang perorangan, pengurangan tarif PPh badan, dan PPN barang/jasa,'' tuturnya.
Selain itu, ada pembahasan terkait PPnBM, UU Cukai, carbon tax, hingga pengampunan pajak (tax amnesty). ''Hasilnya kita tunggu pembahasan dengan DPR. Presiden sudah berkirim surat kepada DPR untuk membahas ini,'' tambahnya.
Sedangkan Ketua DPR Puan Maharani dalam sambutan membuka rapat paripurna ke-18 DPR RI masa persidangan V tahun sidang 2020—2021 Kamis (20/05/2021) lalu mengatakan, saat ini pemerintah memang terus menggalakkan program vaksinasi. Meski demikian, kondisi penuh ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 tetap harus diantisipasi dalam menyusun kerangka ekonomi makro dan kebijakan fiskal.
Berbagai indikator, kata Puan, menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia berada dalam tren pemulihan dan pertumbuhan yang membaik. “Tetapi, APBN tetap harus mengantisipasi bila sewaktu-waktu terjadi perburukan kondisi pandemi,” jelas Puan.
Mantan Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK) itu meminta semua pihak belajar dari pengalaman pada awal tahun saat terjadi lonjakan kasus Covid-19. Akibatnya, pengetatan aktivitas masyarakat kembali dilakukan yang kemudian berdampak pada perekonomian. Belum lagi, melonjaknya kasus Covid-19 di India yang dampaknya turut merembet ke berbagai negara.
Ketua DPP PDIP itu juga meminta agar fundamental perekonomian dibenahi. ''Program yang memberikan nilai tambah dan meningkatkan penghasilan bagi rakyat harus menjadi prioritas dalam jangka pendek,'' papar Puan.
Seluruh masalah struktural terkait sumber daya manusia (SDM), produktivitas, hingga birokrasi memang harus dibenahi. Namun, program-program yang dapat meningkatkan nilai tambah ekonomi dan penghasilan bagi rakyat secara langsung dan cepat juga harus diprioritaskan pemerintah.
DPR mendorong pemerintah untuk tetap memprioritaskan program pemulihan sosial dan ekonomi. Belanja pemerintah juga harus lebih efektif. Lalu, belanja nonprioritas mesti dipertajam. ''Tentu saja defisit dan utang harus dikendalikan dengan baik agar kapasitas fiskal APBN pada masa yang akan datang masih memiliki ruang,'' terang dia.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, target pertumbuhan ekonomi pada 2022 diusulkan mencapai 5,2 sampai 5,8 persen. Usulan itu tertuang dalam dokumen kebijakan ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal (KEM PPKF) 2022. Target tersebut telah mempertimbangkan kondisi pandemi Covid-19 yang masih ada, tapi tetap terkendali.
Selain pertumbuhan ekonomi, ada indikator-indikator ekonomi lainnya seperti inflasi diproyeksikan sekitar 2—4 persen. Kemudian, tingkat suku bunga SUN 10 tahun di kisaran 6,32—7,27 persen dan nilai tukar rupiah Rp 13.900—Rp 15.000 per dolar AS. Selanjutnya, harga minyak mentah Indonesia USD 55—65 per barel, lifting minyak bumi 686.000—726.000 barel per hari, dan lifting gas bumi 1,031—1,103 juta barel setara minyak per hari.
Ani —sapaan karib Sri Mulyani— melanjutkan, pertumbuhan ekonomi global pada 2022 diperkirakan menuju trajektori normalnya di kisaran 4,4 persen. Itu berdasar proyeksi Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF). Namun, proyeksi tersebut sangat bergantung pada kemampuan dunia mengendalikan Covid-19 dan keberhasilan vaksinasi global.
Dari sisi domestik, Ani memerinci, ekonomi RI mengalami kerugian Rp 1.356 triliun sepanjang 2020 akibat pandemi. Kerugian itu dipicu hilangnya kesempatan Indonesia menciptakan nilai tambah akibat Covid-19.
Selama pandemi, kesehatan dan keselamatan masyarakat menjadi prioritas pemerintah. Namun, itu membawa konsekuensi pada dampak yang ditimbulkan terhadap perekonomian sangat berat akibat terhentinya aktivitas ekonomi.
Ke depan, pemerintah terus melanjutkan fokus tersebut sejalan dengan tren pemulihan ekonomi. ''Kita semua perlu terus menjaga optimisme dengan terjadinya tren pemulihan ini, tapi tidak boleh membuat kita lengah, bahkan harus tetap waspada karena ketidakpastian masih tinggi. Kerja keras belum selesai,” jelas mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.(jpg/red)