Soal Peretasan yang Menimpa ICW, LBH Pesimis Jika Lapor akan Ditindaklanjuti

Soal Peretasan yang Menimpa ICW, LBH Pesimis Jika Lapor akan Ditindaklanjuti

JAKARTA — Lembaga Bantuan Hukum (LBH)  Jakarta mengaku tidak yakin pihak kepolisian akan mengusut tuntas kasus cyber teror atau peretasan yang menimpa akun ICW dan eks pimpinan KPK saat acara zoomeeting atau konferensi pers melaui vitual.

Pasalnya, jika melihat dari kasus pelaporan peretasan yang dilayangkan ke lembaga Bhayangkara itu justru tidak dilanjuti. Seperti kasus peretasan yang dialami aktivis Ravio Partra, hingga sekarang tidak ada kabar kelanjutannya.

Demikian disampaikan Ketua Advokat LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (20/05/2021).

“Kejadian peretasan ini harus dilaporkan ke kepolisian agar kemudian diusut dan dibawa ke pengadilan untuk dihukum,” ujarnya.

“Tapi publik agak pesimis dan kita juga tidak yakin karena terakhir laporan ke polisi soal peretasan di kasus Ravio Patra (aktivis) tidak terdengar kabarnya,” sambungnya.

Lebih lanjut, pria yang berprofesi sebagai pengacara itu menyarankan guna mencegah peretasan aktivis terus berulang.

Menurut Nelson pentingnya memperhatikan keamanan digital, terutama dari gawai pribadi.

Hal tersebut supaya tidak sembarangan melakukan klik terhadap tautan tertentu dan mengganti PIN secara rutin.
 
“Tapi yang paling penting adalah tindakan kepolisian untuk melindungi masyarakat apabila terjadi peretasan seperti ini. Harus bisa menemukan siapa pelakunya,” pungkas Nelson.

Sebelumnya, Peneliti ICW Wana Alamsyah mengatakan, peretasan tersebut dilakukan saat konferensi pers bersama eks pimpinan KPK, pada Senin (17/5).

Konferensi pers dilakukan menggunakan media Zoom (khusus untuk narasumber dan panitia) dan ditayangkan melalui kanal YouTube Sahabat ICW.

“Sepanjang jalannya konferensi pers, setidaknya ada sembilan pola peretasan,” kata Wana kepada wartawan, Senin (17/5).

“Pertama, menggunakan nama pembicara untuk masuk ke media Zoom. Kedua, menggunakan nama staf ICW untuk masuk ke media Zoom,” lanjutnya.

Pola peretasan yang ketiga, lanjut Wana, adalah menggunakan foto dan video porno dalam ruangan Zoom.

Kemudian yang keempat, menurut Wana, adalah mematikan mikrofon dan video para pembicara.

“Kelima, membajak akun ojek online Nisa Rizkiah puluhan kali untuk mengganggu konsentrasinya sebagai moderator acara,” ungkap Wana.

Upaya peretasan tak berhenti di situ, Wana menuturkan, pola yang keenam adalah mengambil alih nomor WhatsApp delapan pegawai ICW.

Pada pola ketujuh, para pegawai ICW yang nomornya sempat diretas mendapatkan panggilan telepon dari nomor Amerika Serikat dan nomor provider Telkomsel.

“Kedelapan, peretas mencoba mengambil alih akun Telegram dan e-mail beberapa staf ICW. Namun, upaya tersebut gagal,” kata Wana.

Terakhir, peretasan dilakukan dengan membuat tautan yang dibagikan oleh mantan Ketua KPK Abraham Samad tidak bisa dibuka.

Wana menceritakan bahwa upaya peretasan tidak hanya terjadi kali ini. “Upaya pembajakan ini bukan kali pertama terjadi pada aktivis masyarakat sipil. Sebelumnya, pada kontroversi proses pemilihan pimpinan KPK, revisi UU KPK Tahun 2019, UU Minerba, UU Cipta Kerja praktik ini pernah terjadi,” terangnya.

Wana mengatakan bahwa upaya peretasan dilakukan oleh pihak-pihak yang tak setuju pada upaya penguatan pemberantasan korupsi.

Peretasan ini, sambung Wana, merupakan wujud pembungkaman baru suara kritis masyarakat.

“Maka dari itu, kami mengecam segala tindakan itu dan mendesak agar penegak hukum menelusuri serta menindak pihak yang ingin berusaha untuk membatasi suara kritis warga negara,” imbuh dia. (muf/pojoksatu)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: