Hasilnya, ada beberapa kendala prinsip berkenaan administrasi dan kurang fleksibelnya eksekutif dalam menerjemahkan instruksi pusat.
“Jadi persoalan ini sudah ada titik temu. Terutama kegiatan-kegiatan yang akan digulirkan tahun ini, kita rasa selagi sesuai dengan instruksi Kementerian Keuangan, birokrasi tidak perlu berlama-lama dalam eksekusi,” ujar Sekretaris Komisi I DPRD Kota Tasikmalaya, Anang Sapaat kepada Radar, Rabu (28/4/2021).
Menurut dia, sejumlah kendala seperti urusan kepegawaian, pelaksanaan program kegiatan pemerintah, termasuk eksekusi gaji atau honor-honor kegiatan bisa dipilah. Terutama kegiatan dinas yang sudah tuntas mengalami refocusing.
”Kami cek terakhir itu, beberapa kegiatan kan belum eksekusi karena refocusing. Dan sekarang sudah tuntas, tinggal pelaksanaan di tataran pengguna anggarannya saja, saya kira 1 atau 5 Mei ini harus sudah dimulai tahapan kegiatan-kegiatan yang bersekala besar,” katanya menganalisa.
Politisi Demokrat itu mengungkapkan lambatnya pembayaran honor para tenaga harian lepas (THL), operasional dinas dan lain sebagainya.
Didasari keterlambatan di tingkatan eksekutif dalam merespons usulan pencairan. Kemudian, di tengah jalan Keputusan Menteri Keuangan tentang kewajiban daerah merefocusing alokasi kegiatan terhadap penanganan Covid-19 muncul.
“Jadi yang sebelumnya masih tertunda dengan alasan acc kementerian dalam negeri dan lain sebagainya, di tengah jalan kita juga harus refocusing yang memaksa setiap dinas membongkar kembali susunan rencana kerja anggaran (RKA),” jelas Anang.
Namun, kata dia, seharusnya eksekutif juga tidak latah dengan instruksi pusat dengan mengalokasikan anggaran refocusing sesuai dengan jumlah persentase yang diamanatkan.
Melihat kota atau kabupaten lain pun, urusan refocusing bisa ditangani dengan cepat tanpa perlu mengganggu kegiatan rutin atau normatif pada dinas-dinas.
“Daerah lain itu refocusing tidak seribet di kita, saklek dengan ketentuan pusat. Semampunya saja dulu, supaya tidak terlalu banyak bongkar-bongkar komposisi anggaran setiap dinas. Kitanya yang terlalu kaku dan ketakutan, mempersepsi aturan dan lain-lain dan mengesampingkan pertimbangan seperti kemampuan daerah, kecepatan eksekusi anggaran atau lain sebagainya,” papar dia.
“Ketika amanat dilaksanakan, tapi menyesuaikan tentunya tidak akan disanksi atau menjadi pelanggaran. Salah itu ketika tidak dilaksanakan. Kalau kita mampu refocusing di murni beberapa persen dulu, kekurangannya kan bisa nanti di perubahan, tak harus di murni semua diubah jadi lama inventarisasi kegiatannya,” sambung dia.
Di sisi lain, ia memahami keterlambatan kaitan status pimpinan eksekutif yang merupakan Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Tasikmalaya.
Kewenangannya dibatasi untuk kebijakan tertentu dan bersifat strategis, harus mendapat restu Kemendagri terlebih dahulu sebelum diimplementasikan.
“Konteks status kepala daerahnya Plt, sebetulnya tidak ada urusan kaitan administrasi keuangan. Rotasi-mutasi, penerbitan perwalkot, itu baru harus restu APBD. Kalau keuangan, saya rasa bisa lancar yang terpenting apa yang dituangkan dalam APBD dilaksanakan sesuai oleh dinas-dinas,” ungkap Anang.
Ia mendesak kegiatan-kegiatan di OPD yang tidak harus menunggu perwalkot perubahan penjabaran APBD segera dieksekusi.
Usulkan pencairannya ke BPKAD, dan badan tersebut tidak memperlambat realisasinya.
“Harusnya kan April itu kegiatan-kegiatan sudah pada mulai, ini baru sebagian kecil saja. BPKAD jangan lelet, usulan itu cepat direspons, sehingga tidak mengakumulasi persoalan yang sudah ada dan memang terkendala pusat,” tegas dia.
Pihaknya akan memonitor serius proses pencairan-pencairan yang bisa disegerakan. Supaya tidak lambat terealisasi ke publik, dan berimplikasi terhadap roda perekonomian di masyarakat.
“Kita kan dituntut juga pulihkan ekonomi, ketika lambat realisasi, semuanya jadi terhambat dan mengganggu,” keluh Anang.
Berbeda dengan Anang, Anggota Komisi I DPRD Kota Tasikmalaya H Ajat Sudrajat menilai sejumlah keterlambatan kebirokrasian didasari pemerataan status Plt terhadap daerah.
Di mana, aturan yang diberlakukan bagi kepala daerah yang berstatus Plt, seperti daerah yang hendak melaksanakan Pilkada.
“Dimana aturannya membatasi kewenangan. Karena memang, regulasi spesifik yang mengatur status plt wali kota, lantaran kepala daerahnya menghadapi persoalan itu belum ada. Jadi disamakan dengan yang mau Pilkada,” kata Ajat.
Ketua Fraksi PPP itu memahami kondisi tersebut berat. Membuat seluruh komponen daerah kebijakan di daerah terkendala.
Namun, sejatinya ketika eksekutif tidak bertumpu sebatas mengusulkan ke pusat, ketika hendak menggulirkan suatu kebijakan atau diskresi,tentu tidak akan terkatung-katung.
“Dalam artian, proaktifnya birokrasi kita juga mempengaruhi cepat lambatnya acc dari pusat. Ketika setiap usulan atas kebijakan daerah disampaikan dan dikawal serius, progresnya jelas, minimal bisa menekan persoalan atau ketidak pastian kapan realisasinya,” ujar Ajat.
Ia memahami sejak awal tahun 2021, beberapa kendala yang tidak terantisipasi mulai dari pencairan gaji pegawai.
Pencairan operasional dinas sampai honorarium THL. Bahkan, pelantikan pun yang merupakan amanat dari perubahan SOTK baru tidak bisa dilaksanakan sesuai rencana.
“Kepegawaian juga kan tidak sekaligus, bahkan terbilang agak terlambat. Memang ini menuntut birokrasi kita supaya lebih terencana, konsen, karena kondisinya sudah begini. Harusnya dipahami dan antisipasi dari jauh-jauh hari jangan berakumulasi seperti hari ini,” harapnya.
Menurut Ajat, ketika daerah hendak menerbitkan perwalkot atau kebijakan tertentu yang sifatnya harus melalui acc Kemendagri, bisa disiapkan dari awal. Supaya, lanjut dia, ketika kebijakan itu harus segera dilaksanakan, minimal daerah sudah antre dalam menunggu izin atas usulan tersebut.
“Kondisinya kan seperti ini, kok jadi terakumulasi, harusnya terantisipasi. Kami pun prihatin ada rekan-rekan pegawai telat gajian dan lain sebagainya,” keluh Ketua PTMSI tersebut.
(igi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News