Siapa Membunuh Putri (10) - Beradu Headline
--
Oleh: Hasan Aspahani
FERDY Tahitu Namanya. Ia muncul di depan pintu rumah kontrakanku pada saat yang tepat. Kami sedang menyiapkan Dinamika Kota, dengan sangat buru-buru. Semua dilengkapi dengan lekas. Kantor dengan segala perlengkapan, kendaraan operasional, anak-anak pemasaran dan iklan, desainer, dan terutama wartawan.
Saya percaya apa yang diyakini oleh bos-bos kami, bahwa koran itu jadi kalau ada tiga orang wartawan, bukan orang iklan atau agen, berkumpul dan bekerja bersama. Intinya di jurnalismenya. Mulainya dari situ, tapi bagian lain bukannya tak penting. Aspek bisnis harus beres juga untuk menjaga idealisme jurnalisme itu.
Saya akhirnya mengambil tawaran rumah kredit dari developer yang diperkenalkan Bang Ameng. Perumahan baru di Kawasan Petimban. Lokasinya di antara Sekumpang dan Tanjung Kawin. Tak terlalu jauh dari pusat kota, dari kantor.
Ada jarak yang terasa, memberi arti bagi kata pulang. Pulang kerja ya ke rumah. Rumah adalah sesuatu yang berjarak dari kantor. Sementara rumah 27/60 yang saya ambil dengan kredit 15 tahun itu dibangun, dan saya mencicil DP-nya, saya mengontrak di blok lain yang sudah ramai. Saya menolak kredit keras tanpa DP yang ditawarkan Bang Ameng. Paling-paling dia juga yang bayarin uang mukanya, berutang jasa lagi saya sama dia. Tak nyaman rasanya.
Ke rumah kontrakan sementara itulah, Ferdy mendatangi. Dia datang dengan sebotol besar minyak kayu putih dari Pulau Buru. Buat oleh-oleh katanya. ”Saya Ferdy, Bang… Ferdy Tahitu,” katanya, setelah mengucapkan salam dengan fasih.
Saya sedikit kaget dan bingung. Tak ada yang tahu tentang rumah ini, kecuali orang kantor, anak-anak yang bantu saya pindahan. Seorang kurus tinggi dengan rambut ikal kecil berdiri di depan pintu. ”Kita belum pernah bertemu. Tapi saya yakin saya ketemu orang yang baik,” katanya.
Saya yang malah ragu apakah tamu saya ini orang baik. Tapi saya persilakan Ferdy masuk. Konflik Ambon yang membuatnya sampai ke Batam. Ia datang bersama istri dan seorang anak. ”Saya Kristen, istri saya Islam. Abang bayangkan bagaimana posisi kami di tengah konflik yang terjadi di sana. Yang saling bunuh itu semua saudara-saudara kami semua, saudara saya, saudara istri saya,” kata Ferdy.
Setelah menikah, Ferdy tinggal di wilayah yang dikuasai oleh orang Islam. Ia bekerja di koran yang menyuarakan suara Islam. Di wilayah Kristen ada koran lain – koran dari grup kami juga – yang beritanya prokristen. Selama konflik pecah dia tak berani keluar rumah. Ia juga tak mau tinggalkan anak dan istrinya pergi ke wilayah sebelah.
“Saya hanya berpikir bagaimana selamatkan keluarga saya, Bang. Selamatkan anak dan istri saya,” kata Ferdy. Lalu dia berpikir untuk tinggalkan AmbonIa punya saudara di kota ini. Katanya anak saudaranya itu pernah saya bantu. Ia dapatkan alamat saya dari saudaranya itu, seorang tokoh masyarakat Ambon di kota ini.
Ferdy membawa beberapa kliping berita karyanya.
”Sekarang anak sama istrimu di mana?”
”Saya titip keluarga, Bang!”
”Mau gabung di koran kami, nggak? Kami lagi siapkan koran baru. Satu grup dengan koran kita di Ambon itu,” kata saya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: