Ayam Meme
Benjamin sendiri awalnya bergerak di bidang konstruksi. Ia ikut membangun ikon baru Singapura: gedung kasino Marina Bay. Yang Anda pasti sudah pernah ke sana. Yang bentuk atasnya seperti kapal itu.
Sembilan tahun lalu Benjamin mulai mencoba menanam sayur kale. Itu jenis sayur yang mahal. Yang sangat cocok untuk salad.
Benjamin menanam kale di dalam ruangan. Di sebelah kolam renang. Berhasil. Di skala kecil.
Lalu, Benjamin mencoba menanam stroberi. Yakni, buah yang hanya tumbuh di udara dingin. Juga berhasil. Di skala uji coba.
Maka, Benjamin mendirikan perusahaan start-up: Sustenir. Ia menghimpun dana dari publik. Investor tertarik. Benjamin mampu mengumpulkan dana sampai sekitar Rp 350 miliar. Banyak yang tertarik pada start-up Benjamin. Termasuk Temasek.
Seperti umumnya start-up, Sustenir pun rajin bakar uang. Perusahaan itu belum bisa dikatakan berhasil, tapi nilai perusahaannya sudah mendekati Rp 1 triliun.
Di mata kita, besarnya nilai perusahaan itu memang agak ganjil: di negara yang tidak punya sawah dan kebun, bisa lahir perusahaan bidang pertanian yang nilainya Rp 1 triliun. Itu karena Benjamin pintar memanfaatkan emosi ”swasembada pangan”. Pun untuk negara seperti Singapura. Begitu mudah menakut-nakuti Singapura: dengan ancaman akan terjadi krisis pangan. Sumber makanannya begitu terbatas.
Maka, Singapura pun punya program yang disebut ”30/30”. Di tahun 2030 nanti, 30 persen bahan pangan Singapura harus dihasilkan di dalam negeri. Urban farming itu harus berhasil. Saat ini Singapura hanya memproduksi pangan 10 persen dari kebutuhan. Selebihnya harus impor: ayam, babi, sapi, sayur, kedelai, kacang, dan apa saja.
Krisis daging ayam sekarang ini juga mendorong industri daging ”tiruan” lebih serius. Belum juga berhasil. Secara teknologi sangat masuk akal. Sudah sukses. Mesin tersebut sudah menghasilkan daging ayam tanpa memelihara ayam. Rasanya sudah rasa ayam. Warnanya sudah warna ayam. Teksturnya pun sudah tekstur ayam.
Tapi, harganya masih jauh lebih mahal daripada ayam dari Malaysia.
Soal harga masih memusingkan. Setidaknya sudah ada gambaran jelas: tanpa Malaysia, orang Singapura tetap bisa makan ayam –meski mahal.
Mungkin Singapura akan menyewa lahan pertanian. Perkiraan saya. Bisa di Malaysia. Bisa di Bintan. Atau di Riau daratan. Di mana pun di Indonesia. Ia bisa menanam sendiri, di lahannya sendiri, di Indonesia.
Singapura sudah banyak membantu program pertanian di Riau sampai Aceh. Syaratnya: harus menggunakan benih yang ditemukan Singapura dan menjalankan sistem pertanian yang disusun Singapura. Padi dan sayur Singapura dianggap unggul di tanah-tanah uji coba mereka di beberapa negara. Termasuk di Sumatera.
Singapura memang punya banyak uang. Ia bisa melakukan apa saja dengan uangnya itu. Penduduknya pun mampu membeli bahan pangan. Biarpun mahal. Pengeluaran warga Singapura untuk membeli pangan sangat kecil. Hanya kurang 10 persen dari penghasilan. Bandingkan dengan kita: 30 persen penghasilan habis untuk membeli makanan.
Krisis pangan terjadi di mana-mana. Indonesia tergolong dapat berkah. Dua tahun terakhir tingkat hujan di Indonesia sangat baik. Pertanian berjaya. Kecuali buah dan tembakau –yang di masa pembuahan kurang suka hujan. Tahun ini hasil buah kita kurang baik. Pun Malaysia. Panen durian musangking-nya pun kurang banyak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: disway.id