Kultur Kampung Naga Bisa Menjadi Contoh Sungai Ciwulan dan Citanduy Sedang ”Sakit”

Kultur Kampung Naga Bisa Menjadi Contoh Sungai Ciwulan dan Citanduy Sedang ”Sakit”

radartasik.com, CIHIDEUNG, RADSIK — Direktur Ecological Observation and Wetland Conservation (Ecoton) Prigi Arisandi menilai Sungai Ciwulan dan Citanduy tengah ”sakit kronis”. Kondisi tersebut menjadi keprihatinannya bersama para peneliti dan aktivis lain, yang tengah mengampanyekan penyelamatan ekosistem sungai.


Itu diungkapkan dalam Nonton Bareng (Nobar) dan Diskusi Serial Dokumenter Ekspedisi 3 Sungai di Ruang Ide Jalan HZ Mustofa, Minggu (3/4/2022) sore. Pihaknya beserta pegiat dan aktivis lingkungan lainnya mempertontonkan film tersebut untuk memicu pegiat lingkungan dan aktivis Kota Resik agar turut peduli. Tatkala, sejumlah sungai besar di Pulau Jawa yang sudah benar-benar tercemar kondisi aliran airnya bisa menimpa daerah seperti Kota Tasikmalaya.

”Kami berkolaborasi bersama peneliti, jurnalis dan warga menyusuri tiga sungai utama di Pulau Jawa. Alhasil memprihatinkan. Nah kami pun tidak ingin di Kota Tasik yang memiliki tiga aliran sungai terjadi hal yang sama,” ujarnya di sela diskusi.

Menurut dia, tiga sungai yakni Citarum, Kalibrantas, dan Bengawan Solo sudah tercemar berat. Beban dari limbah industri dan limbah domestik atau rumah tangga begitu mencemari ekosistem di sana. Bahkan, ikan-ikan yang teraliri sungai tersebut nyatanya mengandung mikroplastik serta limbah berbahaya lainnya. ”Pengawasan lemah, industri buang limbah 24 jam terutama pabrik kertas, gula, dan industri lainnya. Dibuang secara langsung tanpa diolah terlebih dahulu,” tuturnya sambil mengulas serial dokumenter yang digarap bersama pemrakarsa Sexy Killer, Wactdoc itu.

Dia meminta aktivis daerah bisa tergugah. Ciwulan, Citanduy, dan Cikunir yang terbilang pencemarannya sudah kronis dari hulu perlu dihentikan.

Berkaca dari sungai-sungai yang pernah dia telusuri, yang sudah jauh lebih sakit. ”Mereka perlu healing, bebannya terlalu berat ketika masif dibebani polutan dengan kadar yang nyaris mengalahkan volume sungai itu sendiri,” ujar peneliti lingkungan itu.

Pegiat lingkungan lainnya, Amir Amirudin menuturkan hal serupa. Dia mengajak aktivis gencar menyosialisasikan pentingnya menjaga sungai. Seperti kebiasaan dan kultur warga di Kampung Naga, yang secara kontinu melakukan tradisi membuang limbah ke sungai dengan mengolah terlebih dahulu, meski melalui teknologi dan proses alami sederhana.

”Kenapa kita yang di perkotaan, yang sekolah tinggi-tinggi, malah cenderung tidak peduli dan membuat tradisi mengotori lingkungannya. Saya akui di Jawa Tengah dan Timur tidak ditemukan tradisi semacam ini, yang kami lihat langsung di Kampung Naga. Itu bisa menginspirasi kita yang mengaku modern untuk turut jaga lingkungan agar air permukaan kita tidak separah sekarang,” tuturnya.

Amir menganalisa tidak adanya fasilitas Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) komunal di sejumlah sungai Kota Tasikmalaya, menjadi penyebab kandungan air terkontaminasi nitrat dan fosfat. ”Pemantauan kadar nitrit dan fosfat Ciwulan kami mulai dari hulu di Kampung Naga, salah satu sumber airnya tidak ditemukan kadar nitrit dan kandungan fosfat 0,3 PPM. Namun di Ciwulan Kampung Rahayu ditemukan kadar nitrit 1 PPM dan kadar fosfat mencapai 1 hingga 2 PPM,” ujarnya.

Lebih lanjut, peneliti Ecoton ini menyatakan bahwa kadar fosfat dan kadar nitrat Ciwulan sudah melebihi baku mutu air sungai kelas 2. Sumber polusi nitrit berasal dari limbah organik makhluk berdarah panas seperti ternak dan limbah cair dari limbah kamar mandi. ”Sedangkan fosfat bersumber dari limbah detergen dari laundry atau pembersih,” ujar Amiruddin

Aktivis Mahasiswa Tasikmalaya M Fahmi mengakui saat ini sejumlah komunitas saja yang concern menjaga lingkungan terutama sungai. Pengelolaan sampah pemerintah daerah belum optimal. Apalagi pembuangan limbah masih masif secara langsung dialirkan ke sungai.

”Kita mengakui daerah terutama pemerintah dan masyarakat masih abai, kurang peka dan tidak peduli urusan ini. Namun, seusai menyaksikan penayangan film yang disertai data serta fakta, kita merasa prihatin, generasi ke depan akan diwariskan kondisi air permukaan macam apa kalau kita begini terus pola hidupnya,” kata mahasiswa tersebut. (igi)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber: