Sempat Ditolak Warga, Kini Nasib Arul Bukan Sekadar Anak Asuh Polisi (bagian 4-Habis)

Sempat Ditolak Warga, Kini Nasib Arul Bukan Sekadar Anak Asuh Polisi (bagian 4-Habis)

Tanda Kewenangan Polisi sebagai “Hadiah Terbaik” Meraih Cita-cita

Meski usianya masih anak-anak, Arul Miftahul Huda bisa menilai perbuatan baik dan salah. Dia menyadari betapa kelirunya apa yang pernah dilakukannya hingga harus berurusan dengan hukum. Di balik peristiwa yang menderanya, bocah yang kini berusia 14 tahun itu tak hanya ingin memperbaiki diri. Arul telah menggantungkan cita-citanya ingin menjadi Polisi.

***

Tiko Heryanto, Kabupaten Tasikmalaya


SELAMA hampir tiga bulan lamanya, Arul menetap di Polres Tasikmalaya. Bukan menjadi tahanan, melainkan pindah rumah. Dia  tidak punya pilihan. Keputusan pahit diambil bukan tanpa alasan. Arul sempat ditolak warga tempat tinggalnya, karena dianggap meresahkan. 

Orang tuanya mengalami kebuntuan. Arul sempat meminta kepada sang ibundanya untuk dibuatkan sebuah gubuk yang jauh dari pemukiman warga. Saking menghormati keputusan warga agar dirinya tidak menetap di kampung halamannya. 

Tak mendapat kepastian dari sang ibu, Arul memberanikan diri meminta bantuan Kanit PPA Polres Tasikmalaya Aipda Josner Ali S SH. Pendek cerita mendapat izin dari Kapolres Tasikmalaya AKBP Rimsyahtono SIK. “Setelah mendapat izin dari beliau (AKBP Rimsyahtono), kami menyiapkan segala sesuatunya. Ruangan yang dipakai, ya di ruangan kami itu kang (Unit PPA)!” ulas Aipda Josner, mengulang kembali kisah setahun lalu.    

Tiga bulan lamanya Arul menghabiskan hari-harinya di Polres Tasikmalaya. Dia merasa aman, bahkan nyaman. Akrab dengan semua anggota Polisi. Kebutuhan pendidikan dan haknya sebagai anak, memaksa Arul harus “pindah rumah”.

Pesantren menjadi tempat yang tepat bagi Arul. Sebuah pesantren  sederhana di Jalan Raya Tasikmalaya-Garut Km 9, Assyukandary Pesantren menjadi rumah baru bagi Arul. Adaptasi dan pemulihan mental anak, juga dirasakan Arul

Ditemui radartasik.com, ucapan salam keluar dari mulut bocah lincah ini. Duduk santai di teras belakang pondok, membuat obrolan semakin lepas. Dr KH Ujang Hidayatulloh MSi turut mendapingi.  Sesekali meninggalkan lokasi karena ada aktivitas lain.

Arul berbagi pengalaman. Dia membuka rekaman selama tiga bulan tinggal di Polres Tasikmalaya. Yang menempel di benaknya adalah seragam cokelat, Polisi dan tanda kewenangan polisi yang dikalungkan. 

“Gagah. Kalau liat abang (sebutan kepada anggota Polisi), lagi jalan, pakai mobil patroli, terus bawa senjata. Kalau pagi-pagi baris dan upacara,” kenang Arul.    

Pakaian seragam lengkap Polisi, bagi Arul bukan sesuatu yang menyeramkan. “Gak takut, malahan seneng dan bangga kalau bisa pakai. Tapi gak ada yang cukup,” sahutnya.

Perasaan dan penilaian Arul itu setelah merasakan tiga bulan tinggal di Markas Komando (Mako) Polres Tasikmalaya. Dia meng-capture seluruh aktivitas Polisi. Terutama saat petugas pemilik seragam cokelat itu menjalankan tugas.

Yang bikin hatinya kian kepincut saat anggota polisi berbaju kemeja putih rapi, dipadukan celana kain dan bersepatu pantoufel. Sepatu 'ketok' itu; karena suaranya trok...trok..trok...saat dipakai berjalan, membuat Arul pun tersenyum. “Jadi ingat Pak Kanit (Kanit PPA Aipda Josner),” ungkapnya kemudian menundukkan kepala. 

Arul terdiam. Rupanya bocah berusia 14 tahun itu merindukan Josner. Pria kelahiran Medan itu dianggap sebagai ayah bagi Arul. “Saya juga ingin jadi seperti pak Kanit. Ingin Jadi Polisi. Kalau besar nanti saya pengen jadi Polisi,” sebut dia berulang-ulang. 

Arul telah menggantungkan cita-citanya ingin menjadi Polisi. Cita-cita ini pula yang merelakan dirinya masuk ke pesantren dan bersekolah. Pengalaman pahit yang sempat menyergapnya telah dilupakan. “Mudah-mudahan ya, jadi Polisi,” ulasnya seraya meminta do'a dan dukungan. 

Kapolres Tasikmalaya AKBP Rimsyahtono juga kian lega. Arul setelah dinobatkan sebagai anak asuh Polres Tasikmalaya, mendapatkan hak-haknya sebagai anak. Pendidikan juga kebutuhan harian. 

Fenomena Arul, kata dia, banyak hikmah. Dia berharap, masyarakat khsususnya bisa lebih memperhatikan anak-anaknya. “Jangan sampai si anak ini salah pergaulan. Semua harus saling mengawasi,” kata dia. 

Poin penting menurutnya agar masyarakat bisa saling merangkul antar-sesama. Tanpa melihat latar belakang apapun terlebih dengan tetangga. “Yang terpenting tidak main hakim sendiri. Kita wujudkan anak-anak sehat sejahtera untuk kemajuan Indonesia kelak,” pesan dia. 

Pesan yang sama disampaikan Ketua KPAID Kabupaten Tasikmalaya Ato Rinanto. “Anak yang menjadi korban atau pelaku dalam peristiwa hukum, tetap harus terlindungi. Kita harus mewujudkan kabupaten yang ramah untuk anak, sehingga persoalan yang menimpa pada anak, menjadi kewajiban dan tanggung jawab bagi semua, bukan hanya KPAID, Polisi atau pemerintah,” paparnya. 

Dari peristiwa Arul, semua pihak semoga bisa memetik hikmah. Sehingga KPAID Kabupaten Tasikmalaya bersama Polres Tasikmalaya mencoba mempersembahkan sebuah film pendek berdurasi 30 menit dari Tasikmalaya untuk Indonesia. 

Dengan judul “Hadiah Terbaik” sebuah kisah nyata yang diangkat dari peristiwa Arul. “Semoga tidak ada lagi kisah dan liku-liku hidup seperti Arul-Arul yang lainnya,” pungkasnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: