Sempat Ditolak Warga, Kini Nasib Arul Bukan Sekadar Anak Asuh Polisi (bagian 3)
Reporter:
tiko|
Senin 28-03-2022,20:15 WIB
Adzan Asar dan Magrib Dicarter Arul, Santri Lain pun Mengalah
Delapan bulan telah berlalu. Arul Miftahul Huda, kini telah menetap di Assyukandary, sebuah pondok pesantren yang sangat sederhana. Di tempat ini, Arul mulai berbaur dengan para santri lainnya. Bahkan kini ia sudah punya jadwal Adzan yang tak boleh digantikan oleh teman santrinya.
***
Tiko Heryanto, Kabupaten Tasikmalaya
LAYAKNYA para santri di sebuah pondok pesantren, kopiah warna hitam tak pernah lepas. Baju kemeja putih yang dikenakannya dipadankan dengan bawahan kain sarung motif kotak orange-ungu.
Pondok pesantren yang kini sekaligus menjadi rumah bagi Arul lokasinya tepat di pinggir jalan nasional Tasik-Garut KM 9, Kampung Ciwidara, RT 009/001, Desa Selebu Kecamatan Mangunreja, Kabupaten Tasikmalaya. Sekilas, bangunan yang didominasi warna hijau muda itu tidak seperti pesantren pada umumnya.
“Betul, ini rumah tinggal. Tapi sekarang jadi pondok. Sejak 2019, rumah ini kami jadikan tempat mondok santri,” ungkap Dr. KH Ujang Hidayatulloh MSi, saat menyambut radartasik.com.
Dia sudah diberitahu akan dikunjungi radartasik.com setelah diinformasikan oleh Kanit PPA Polres Tasikmalaya Aipda Josner Ali S SH.
Josner ini adalah sosok polisi yang diperintahkan Kapolres AKBP Romsyahtono SIK untuk mengawasi Arul selama di pesantren. Josner ini pula yang menggantikan figur ayah bagi Arul. Betapa tidak, keluh kesah Arul selalu diadukan kepada Josner melalui pesan Whatshapp.
Sama halnya dengan Josner, KH Ujang punya prinsip yang sama. Arul harus tumbuh kembang secara alami. Namun tak kekurangan baik itu kasih sayang, pendidikan dan lainnya. Sehingga tak heran, pola pengajaran terhadap Arul berbeda dengan anak-anak lainnya.
Pemilik pondok pesantren yang sekaligus seorang dosen di salah satu universitas di Cirebon ini, bukan berarti menganakemaskan Arul. Tetapi dia memahami dengan karakter Arul, anak energik, super aktif namun tersandung masalah kasus hukum.
“Dua minggu sejak di pondok, Arul sulit bergaul. Dia hanya terdiam. Tatapannya selalu kosong. Keluar areal pondok pun tidak mau,” kisah KH Ujang Hidayatulloh mengawali perbincangan. Sambil mempersilakan masuk, sosok ulama ini sangat ramah. “Nah, beginilah Assyukandary. Seperti ini adanya. Sebentar saya bikinkan kopi dulu,” tambah dia.
Berada di ruang tamu yang sekaligus sebagai kantor, radartasik.com duduk beralaskan karpet. KH Ujang lantas melanjutkan kisah Arul.
Kata dia, Arul drastis hanya diam dan tampak malas. Tidak seperti di Polres Tasikmalaya; riang dan aktif. Belakangan terungkap, Arul punya trauma. Takut bertemu dengan orang baru. Untuk menyiasatinya, Arul didampingi dua Satri Senior yang sekaligus menjadi pembimbing hari-harinya di pesantren.
“Setelah dua minggu, mulai tuh Arul ini berbaur dengan santri lainnya. Dan saat itu belum kami arahkan pada pembelajaran yang serius,” kata dia.
KH Ujang sengaja memberikan ruang kepada Arul agar dia betah. Seiring waktu, Arul juga mulai diarahkan mengaji. “Sehari itu tiga waktu pembelajaran. Pertama selepas Asar, lalu habis shalat Magrib sampai pukul 21.00 dan setelah Subuh. Saya juga tak menyangka, Arul akhirnya mengerti dan mengikuti santri lainnya,” ulasnya sambil memperlihatkan Al Quran dengan terjemahan untuk Arul belajar.
Hari-hari Arul di Assyukandary penuh perubahan. Meski tak semudah membalikkan telapang tangan untuk merubah karakter anak yang memiliki agresivitas berbeda dengan anak seusianya. Namun Arul kini rajin mengaji, serta punya aktivitas sendiri setelah belajar. “Dia seneng ayam. Alhamdulillah rezekinya ada, jadi dibelikan ayam,” terangnya.
Sebuah kandang ayam berukuran satu meter persegi, berada di belakang pondok. Kandang dengan dua pasang ayam ini meski bersifat sementara, namun menjadi obat bagi Arul. Bocah polos ini telaten merawatnya.
Aktivitas lain yang dilakukan Arul yaitu mengumpulkan barang bekas. Kardus, bekas minuman air mineral sengaja dikumpulkan. “Itu buat jajan tambahan Arul. Jadi setelah belajar, dia ngumpul-ngumpul barang bekas dan dijual ke pengepul. Itu pun kami biarkan, tapi dalam pengawasan. Kebetulan jual barang bekas itu juga ada ustadz pendamping,” sebutnya.
Menariknya, kini Arul sudah berani mengkapling jadwal adzan. Dua waktu adzan “dicarter” dan tidak boleh ada santri lain yang memegang mickrophone. “Adzan Asar sama Magrib mah bagian Arul ya Ang,” timpal Arul yang saat itu ikut mendampingi KH Ujang. Dia memanggil Aang kepada KH Ujang.
Sepanjang obrolan ringan itu, lokasi mengobrol akhirnya pindah ke bagian teras belakang pondok. Di belakang kantor dan kobong santri, tampak sebuah bangunan yang belum rampung. Masih proses pembangunan.
KH Ujang punya mimpi besar. Dia berharap pondok pesantrennya tidak hanya sekadar menampung belasan santri laki-laki dan belasan santi perempuan.
Di Assyukandary Pesantren, kini terdapat santri dari Bogor dan Bekasi. Ditambah santri dari daerah Kabupaten Tasikmalaya. lima santri di antaranya adalah santri yang bernasib sama dengan Arul.
“Arul masih beruntung karena ada Pak Kapolres (AKBP Rimsyahtono, Red) yang membantu segala kebutuhan belajar atau lainnya. Sedangkan ada santri yang orang tuanya sama sekali tidak tahu anaknya berada di sini. Ada juga yang sama sekali dibiarkan orang tuanya,” kisahnya.
Beban KH Ujang Hidayatulloh bersama istrinya, Hj Nurlaela SPd, tidak hanya memberikan materi pelajaran terhadap santri-santrinya. Dia bahkan harus memenuhi kebutuhan makan dan lainnya, agar santrinya tetap semangat belajar.
KH Ujang hanya mengharapkan santrinya kelak menjadi orang yang bermanfaat untuk bangsa ini. “Minimal menjadi anak yang shaleh dan shalehah,” ujarnya di akhir perbincangan. (bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: