Memahami, Memaknai, Menjiwai dan Mengaktualiasi Kata Literasi Dalam Identitas Perempuan

Memahami, Memaknai, Menjiwai dan Mengaktualiasi Kata Literasi Dalam Identitas Perempuan

radartasik.com, Perempuan menjadi identitas ragawi yang melekat pada salah satu jenis individu manusia. Selain identitas tersebut, jika perempuan dihubungkan dengan kata singkatan Cantik, maka kepanjangan kata tersebut adalah ceria, anggun, terpelajar, inspiratif dan kreatif.


Kata-kata bermakna dianggap akan melekat satu sama lain, karena mengandung bunyi untuk masing-masing hurufnya yang jika satu hilang maka kata itu menjadi tidak bermakna.

Sekaitan dengan kepanjangan kata dari Cantik, salah satunya adalah kata terpelajar. Terpelajar berarti telah seseorang mendapatkan pendidikan di sekolah.

Tentunya dalam pengertian tersebut, tergambar bagaimana telah terjadi proses yang sistematis dengan beragam variasi jenjang pendidikan yang terdapat di masyarakat.

Pada kata terpelajar juga selanjutnya ada kata belajar dengan gambaran bahwa ada aktivitas memberi dan menerima dari seorang guru kepada siswanya.

Proses stimulasi guru dan respons para siswa, menempatkan para siswa pada kondisi perubahan perilaku dari yang tadinya tidak tahu menjadi tahu.

Perubahan perilaku yang dimaksud, pada prosesnya akan diperoleh pengalaman yang bersifat sepanjang hayat. Perwujud nyata dari kegiatan belajar ini, diantaranya adalah membaca.

Aktivitas ini merupakan proses berpikir karena ketika membaca seseorang harus mengetahui arti kata per kata untuk dapat memahami isi teks secara keseluruhan.

Poin ini juga menuntutnya untuk berpikir secara sistematik, logis, dan kreatif. Oleh karena itu, perbendaharaan kosakata yang baik agar diperlukan untuk dapat memahami maksud dari penulis melalui teksnya. Selanjutnya, apakah cukup hingga level tersebutkah seseorang atau seorang perempuan khususnya, menjadi terpelajar?

Menelaah hal tersebut, sangatlah bijak menilai bahwa membaca menjadi bagian literasi. Literasi merupakan kemampuan seseorang dalam menulis dan membaca.

Namun, definisi literasi yang terbatas ini telah ditentang dengan munculnya teori-teori sosial, yang mengakui bahwa literasi lebih kompleks dari perspektif tradisional ini.

Sehingga penjelasan lainnya menggambarkan bahwa dalam literasi terdapat pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup yang melibatkan kerja otak seseorang untuk bekerja memahami apa yang dibaca.

Proses itu pun berlaku pada saat seorang penutur memahami bahasa lisan dan juga memahami hal-hal lain di sekitarnya. Dalam arti lain bahwa, kemampuan seseorang untuk memahami bahasa lisan, bahasa tulis, dan beragam peristiwa semua berkorelasi satu sama lain.

Berdasarkan alasan tersebut maka, literasi dapat disimpulkan sebagai strategi pemahaman seseorang atas suatu hal dan prosesnya bukan hanya memahami teks, tetapi juga terdapat proses untuk mencerna lebih lanjut maksud teks tersebut itu apa untuk ditindaklanjuti secara nyata sehingga ada perubahan yang dialami seorang pembaca dalam menyikapi suatu hal.

Lebih jauh lagi, beberapa sumber bacaan yang membahas literasi terkiat pendidikan dan kekritisan berpikir telah menjelaskan beragam macam penguatan arti dan makna literasi, sehingga bukan hanya mengetahui bahwa ada literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, literasi visual, dan literasi lainnya, tetapi secara mendalam memahami pengejewantahan literasi itu sendiri seperti apa sesungguhnya.

Berkenaan dengan ini, secara komprehensif literasi adalah menciptakan dan menafsirkan makna melalui teks secara sosial, historis, dan budaya sehingga terdapat hubungan antara teks dan konteks penggunaannya.

Idealnya, dalam literasi ini pun harus terdapat juga kemampuan untuk merefleksikan secara kritis atas hubungan-hubungan itu secara dinamis.

Dalam literasi akan terdapat tahap-tahap yang akan menempatkan seseorang akan telah berada pada tingkatan mana.

Jika seseorang itu sudah menguasai satu tahapan literasi maka ia memiliki pijakan untuk naik ke tingkatan literasi berikutnya. Tahap-tahap literasi yang ditempuh adalah tingkatan performative, functional, informational, dan epistemic.

Tingkat literasi performatif ditunjukkan dengan kemampuan membaca dan menulis, serta berbicara menggunakan bahasa tertentu dengan menyertakan keterampilan menyimak yang juga perlu dimiliki.

Keterampilan-keterampilan berbahasa tersebut, tampaknya akan menjadi pendukung tahap berikutnya, yaitu tingkat fungsional.

Pada tingkat fungsional seseorang diharapkan dapat menggunakan bahasa untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, misalnya membaca buku manual.

Membaca buku manual suatu produk elektronik misalnya, sering dilewatkan karena konsumen mungkin merasa sudah sangat paham terkait produk yang dibelinya.

Padahal dengan membaca buku manual tersebut ia akan lebih rinci dan mengetahui dengan pasti kondisi dari produk yang dibelinya itu seperti apa dan harus bagaimana perawatannya.

Pada tingkat informasional, seseorang diharapkan dapat mengakses pengetahuan dengan bahasa yang dikuasainya.

Seiring dengan kemajuan teknologi saat ini, jaringan internet membuka akses informasi dapat dibagikan secara cepat, mudah dan masif, sehingga sebenarnya tidak ada alasan lagi untuk mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan atau ada ketidaktahuan tentang suatu berita misalnya, yang sedang kekinian saat ini.

Sementara pada tingkat epistemik, seseorang telah dapat mentransformasikan pengetahuan dalam bahasa.

Dengan kata lain, penguasaan literasi pada tingkat ini membuat seseorang harus memiliki rasa peduli pada aspek sosiokultural dan tidak melakukan pengabaian atasnya untuk dapat berkomunikasi dengan baik dengan pemahaman pada norma-norma yang berlaku.

Selain tahap-tahap tersebut, penting untuk dipahami bahwa literasi melibatkan proses pemecahan masalah atau mencari dan menemukan solusi yang tepat. Pada proses ini, literasi akan mengarah pada pemikiran logis, analitis, kritis, dan rasional.

Meskipun efek yang ditimbulkannya adalah perbedaan pendapat dan kesadaran kritis, namun hal ini dapat menjadi landasan yang kuat untuk perubahan sosial. Langkah nyata dalam memahami hal ini, misalnya dengan ilustrasi seperti berikut ini.

Kekerasan terhadap perempuan menjadi isu global. Tindakan ini merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Di Indonesia, salah satu penyebab terjadinya kekerasan adalah lemahnya perlindungan hukum bagi perempuan korban yang kemungkinan dikarenakan eksistensi dari adanya sistem budaya patriarkal di masyarakat.

Sistem ini yang menciptakan sistem pranata sosial yang berdasar pada relasi yang timpang dengan kategori kuat-lemah. Indikasi ini menjadikan sistem budaya sosial yang memarjinalkan posisi perempuan terjadi secara tetap di masyarakat.

Fenomena ini misalnya ditunjukan dengan adanya perampasan dan penindasan hak asasi perempuan korban kekerasan, yang seolah dianggap hal yang biasa terjadi.

Selain itu, kecanggihan perkembangan media informasi, berefek untuk menunjang terciptanya identitas perempuan yang direpresentasikan dalam media sosial misalnya, sebagai objek eksploitasi.

Jika kemudian, literasi menjadi pemecahan masalah seperti diungkapkan diawal, maka cermatilah bagaimana peraturan terkait dengan perlindungan korban kekerasan, khususnya korban kekerasan dengan status di bawah umur. Seringkali tampak dipermukaan bahwa anak yang justru menjadi korban malah menjadi objek eksploitasi.

Korban tersebut diungkap identitasnya antara lain wajah, inisial, nama, alamat, dan sekolah, secara sengaja ataupun tidak sengaja, sehingga korban anak itu pun tidak terlindungi dengan baik, dan juga kerap ditampilkan sebagai sosok anak korban yang disamarkan atau diblur wajahnya, namun masih bisa dikenali ciri-cirinya.

Kondisi tersebut diperberat dengan keterlibatan oknum-oknum masyarakat yang kemudian membagikan foto-foto korban tersebut melalui media sosial dengan beragam alasan kepentingan.

Atas dasar fenomena tersebut, alangkah bijaknya jika ingin memposisikan diri sebagai perempuan yang memiliki literasi, haruslah peka untuk mendukung upaya perlindungan terhadap korban kekerasan.

Upaya tersebut akan terwujud jika perempuan yang menjadi dan merupakan bagian dari masyarakat, mampu menempatkan diri atas wacana yang ada itu sebenarnya untuk apa, mengapa, dan bagaimana, dan selanjutnya harus seperti apa bersikap bijak dan bersolusi tepat.

Sebagai refleksi, literasi perempuan dianggap sebagai kunci pembangunan. Bagaimana kontribusi perempuan untuk pembangunan dapat ditingkatkan melalui literasi? Itulah pertanyaan yang harus dijawab serinci mungkin karena efek literasi dapat memunculkan kemampuan kognitif tingkat tinggi.

Namun, banyak efek ini tidak akan berdampak jika perempuan tidak memiliki pendidikan dan atau, jika mereka tidak mempraktikannya dalam pekerjaan atau kehidupan sehari-hari.

Akhir kata, di sepanjang sejarah dan di berbagai budaya, literasi tampaknya bagi banyak orang menjadi sesuatu yang membuat dirinya lebih tinggi.

Namun, level ini haruslah untuk diyakini bahwa secara luas, secara lebih cerdas dan secara lebih modern, adalah untuk menjadi manusia yang lebih bermoral. Uraian filosofis ini diperkuat oleh landasan kritis cendikia dalam wacana kritis.

Berlandas pada madzhab tersebut, jika dianalogikan pada sosok perempuan, maka seorang perempuan harus memahami dirinya siapa, lalu akan dicitrakan dengan karakteristik seperti apa, sehingga citra itu akan memunculkan argument-argumen yang bagaimana, dan selanjutnya dari hal tersebut akan memposisikan diri perempuan itu dalam sisi ideologi mana. Mengapa demikian?

Karena sejatinya identitasnya itu adalah makna tersirat yang bersifat ideologis yang akan tampak dari bagaimana sajian tampilan kata-kata yang digunakan perempuan itu sendiri dalam teks yang dia bangun dan diwujudkan dalam respons tindakan yang dilakukan pada lingkungan sekitarnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: