Garap Web Series, Hanung Bramantyo Pernah Bikin Sinetron, Sakit Tipes di Episode 7

Garap Web Series, Hanung Bramantyo Pernah Bikin Sinetron, Sakit Tipes di Episode 7

Radartasik.com, Sutradara Hanung Bramantyo kini menjalani debut penggarapan web series. Judulnya, 17 Selamanya. Bintang utamanya, Syifa Hadju dan Rizky Nazar.


Series 17 Selamanya memadukan unsur budaya, sejarah, dan misteri. Namun, Hanung Bramantyo mengakui ada kekurangan saat menggarap.

“Saya coba series seperti apa ya? Benar saja terjadi kesalahan. Saya merekrut kru layar lebar, harusnya kru sinteron,” ucap Hanung Bramantyo dalam jumpa pers di bilangan Thamrin Jakarta Pusat Rabu (2/3/2022).

Kesalahan yang dimaksud dengan merekrut kru dari layar lebar tentu bukanlah sebuah kesalahan tercela yang bisa mencoreng karya. Karena pada kenyataannya, hasil debut seriesnya jadi lebih unggul memiliki standar kualitas layar lebar.

“Tapi, ya begini jadinya lama,” ucap suami Zaskia Adya Mecca tersebut.

Pengalaman pertama menggarap series diakuinya memerlukan adaptasi. Dia yang terbiasa menggarap film dengan durasi maksimal tontonan 2 jam, harus bekerja membuat series dengan durasi panjang. Otomatis dia harus bekerja lebih lama.

“Dulu banget saya pernah bikin sinteron, tapi saya berhenti, nggak kuat. Saya tipes di episode 7,” tuturnya.

Hanung Bramantyo akhirnya menggarap series mengingat saat itu tidak ada wadah untuk dia berkreasi. 

Bioskop sudah lama tutup akibat pandemi Covid-19. Demi terus berkarya, ia pun memutuskan mengambil project series.

Hanung dalam kesempatan itu memuji akting yang diperlihatkan Syifa Hadju, Rizky Nazar, dan yang lainnya. 

“Stamina mereka luar biasa. Kok bisa ya, haha. Kalau ditawarin bikin series lagi, ya kita lihat dulu ini gimana,” tuturnya.

Country Head WeTV dan Iflix Indonesia, Lesley Simpson, mengakui series ini cukup unik dan berbeda dari series yang ada di platformnya. 17 Selamanya mengombinasikan sejarah, fantasi, misteri, dan budaya.

“Mas Hanung karena asalnya dari Jogja, kami syuting di sana di banyak lokasi syuting yang bersejarah. Jalan ceritanya sangat menarik. Dia biasa bikin film, treatment-nya sama kayak bikin film,” ungkapnya.


Memasukkan Budaya Lokal


Sutradara Hanung Bramantyo kerap mengangkat tema tentang budaya Indonesia dalam sejumlah film atau project yang dibuatnya. Dalam debut seriesnya 17 Selamanya yang dibintangi Rizky Nazar dan Syifa Hadju, Hanung pun memasukkan unsur budaya.

Hanung Bramantyo mengatakan dirinya kerap memasukkan tema tentang kebudayaan sebagai bentuk perlawanannya pada film-film yang kerap mengangkat budaya asing. Hanung sedih film maker dan produser kerap menampilkan budaya dari negara luar.

Hanung Bramantyo miris saat menonton sinetron yang menampilkan makanan bukan dari dalam negeri. 

“Saya lihat sinetron menampilkan roti tawar. Apa itu? Kenapa nggak bakso, nasi kuning, dan segala macam,” kata Hanung Bramantyo di bilangan Thamrin Jakarta Pusat Rabu (2/3/2022).

Meski begitu, Hanung tidak setuju dengan pandangan sejumlah orang yang terkesan mempertentangkan modernitas dengan tradisi. 

“Kalau modern, milenial, terus makannya spageti, burger, nggak begitu juga. Saya nggak suka itu,” ucapnya.

Dia melihat, film luar negeri berusaha menampilkan budaya dan identitas dari negaranya masing-masing. Hanung menyadari, film menjadi sarana efektif untuk menyampaikan budaya dan ciri khas satu negara.

Namun mirisnya, film Indonesia terkadang menampilkan budaya asing, bukan mengangkat budaya yang berakar dari denyut nadi masyarakat Indonesia sendiri.

“Itu dilakukan oleh banyak negara di seluruh dunia. Amerika melakukan itu, China melakukan itu. Bagaimana kita kenal humburger kalau tidak nonton film Amerika? Film Amerika makan gudeg kan nggak mungkin. Persoalannya kenapa film kita isinya humburger semua? Jarang makan padang dan segala macam. Mestinya isinya itu,” tuturnya.

Hanung mengakui sejumlah film sudah menampilkan budaya bangsa. Sayangnya film yang mengangkat hal itu bukan film industri, melainkan film festival.

Berangkat dari keprihatinan tersebut, Hanung pun mengambil sikap akan berusaha menampilkan budaya Indonesia dalam karya karyanya. 

Inferiority complex di kalangan film maker khususnya produser membuat citra film Indonesia tidak menjadi etalase untuk kulturnya sendiri, selalu menjdi kultur orang lain,” papar Hanung Bramantyo. (jp)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: