Usul Ridwan Kamil: Ibu Kota Negara Seluas Washington Saja agar Tidak Boros Lahan
Reporter:
Usep Saeffulloh|
Jumat 11-02-2022,12:30 WIB
”Dengan luas
IKN yang luar biasa tersebut, saya khawatir masyarakat yang hendak mengakses istana negara mirip dengan memasuki kawasan industri,” kata
Ridwan Kamil, Kamis (10/2/2022).
Usul tersebut disampaikan
Ridwan Kamil saat menjadi narasumber dalam acara Paradigma Kota dan Arsitektur di Masa Depan, Arsitektur sebagai Artefak Peradaban dalam Perspektif Istana. Kegiatan itu digelar Ikatan Arsitek Indonesia Nasional, secara daring.
Ridwan Kamil menekankan soal pentingnya menjadi tempat yang layak untuk ditinggali. Dari sudut pandang sebagai arsitek dan urban planner, lanjut dia, urusan
IKN bukan semata-mata memindahkan dan membangun infrastruktur.
”
IKN adalah membangun masa depan. Membangun masa depan harus punya identitas. Sejarah arsitektur modern kurang lebih mereduksi banyak sekali kearifan-kearifan lokal yang tentunya bisa kita carikan definisi-definisi barunya di
IKN,” papar
Ridwan Kamil.
Menurut dia, lahan
IKN dalam rencana pengembangannya yang mencapai 250.000 hektare, jika
IKN didesain sebagai kota yang nyaman ditinggali, fungsi livability harus dimiliki. Paradigma membangun dalam skala besar masih terjadi dalam perencanaan
IKN.
”Saya kira boros lahan menjadi sebuah kebiasaan kita. Kalau membangun skala besar itu cenderung suka luas-luasan,” ucap
Ridwan Kamil.
Oleh karena itu, dia mengingatkan bahwa dalam mendesain ruang sebuah kota ataupun
IKN, pembangunan harus berprinsip seperti membuat baju, tidak sempit dan longgar.
”Kegagalan itu terjadi di Brasil, itu terjadi di ibu kota Myanmar, di mana-mana. Pembangunan fisik berusaha menaklukkan tanah seluas-luasnya, lupa bahwa manusia itu punya batas-batas psikologis, batas-batas motoris yang harus disusun,” terang
Ridwan Kamil.
”Oleh karena itu sebenarnya saya tidak suka kampus-kampus yang terlalu jauh-jauh bangunannya. Jadi antar bangunan harus naik mobil turun mobil dan sebagainya,” tambah dia.
Ridwan Kamil menambahkan, karena kebiasaan tidak menciptakan kota dengan ukuran skala yang benar, menjadi terbiasa menerima budaya bahwa menikmati arsitektur harus naik mobil.
Gubernur Jabar itu mencontohkan Dubai yang sukses menjadi kota berarsitektur modern, indah dan inovatif namun tidak nyaman untuk menjalani kehidupan.
Dubai menjadi contoh bagaimana penataan ruang tidak bisa menyandingkan yang kaya dan miskin justru melahirkan ketidakadilan ruang. Sehingga dia berharap
IKN belajar dari kegagalan-kegagalan di negara lain.
”Yang saya khawatirkan di tahap berikutnya dari
ibu kota negara ini adalah nanti hanya kumpulan katalog arsitektur, kumpulan bangunan-bangunan yang dibahas estetikanya, teori-teori bangunannya, tapi tidak membentuk sebuah peradaban kota,” kata
Ridwan Kamil.
Ridwan Kamil mendorong Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) berperan aktif dalam proses
IKN tersebut. Diharapkan IAI bisa menjadi konsultan
Presiden Joko Widodo agar proses pembangunan
IKN tidak keluar dari prinsip-prinsip membangun peradaban kota lewat rumus desain,
density, dan
diversity.
”Jadi ini adalah momen bersejarah banget nggak pernah mungkin akan terulang ya ibu kota dua kali, enggak akan terulang lagi,” ujar
Ridwan Kamil.
(jp)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: