Waduh, Kini Singapura Darurat Covid-19, ICU Penuh, Pasien Meninggal di Rumah
Reporter:
radi|
Kamis 04-11-2021,08:50 WIB
Radartasik.com, SINAGPURA — Kasus Covid-19 di Singapura makin hari makin melonjak. Dalam sehari saja angkanya tembus 5 ribu kasus. Situasi ini membuat semua pasien tak bisa tertampung di ICU ataupun IGD. Hal ini sekaligus memunculkan kekhawatiran semakin banyak pasien parah yang bisa meninggal di rumah.
Ahli kesehatan pun angkat bicara. Konsultan senior di Divisi Penyakit Menular Rumah Sakit Universitas Nasional, Profesor Dale Fisher, mendesak agar pasien kritis khususnya diberikan dukungan fasilitas kesehatan yang memadai. Sehingga jangan sampai terlambat dan memicu kematian.
“Pasien sakit parah yang dites positif Covid-19 harus diberikan dukungan untuk tinggal di rumah jika mereka mau,” kata Profesor Dale Fisher, kepada The Straits Times.
Ia menekankan tidak mengacu pada kasus tertentu. Prof Fisher, yang juga seorang profesor kedokteran di Sekolah Kedokteran Yong Loo Lin Universitas Nasional Singapura (NUS), mengatakan sekarang Singapura berada dalam fase transisi.
“Itu tidak memaksakan isolasi kasus positif secara ketat, jadi saya percaya orang yang sakit parah positif Covid-19 harus diberikan dukungan untuk tinggal di rumah. Itu lebih baik untuk individu, keluarga, dan untuk sistem kesehatan,” tuturnya.
Pada Senin (01/11/2021), The Straits Times melaporkan kasus seorang pria berusia 99 tahun yang sakit parah meminta untuk tetap di rumah. Dia dinyatakan positif Covid-19 dalam tes cepat antigen sesaat sebelum meninggal. Keluarga menahannya di rumah sampai kematiannya, sesuai dengan keinginannya. Dokter dan keluarga pria tersebut menyoroti kurangnya protokol yang jelas tentang apa yang harus dilakukan selama situasi tersebut.
Meski tidak jelas apa protokol resminya, pasien Covid-19 berusia 80 tahun ke atas biasanya tidak memenuhi syarat untuk isoman di rumah, dan diharapkan dipindahkan ke fasilitas eksternal. Tetapi, pria itu sebelumnya telah membuat janji ke keluarganya bahwa dia akan diizinkan untuk meninggal di rumah.
Selain itu, dokter yang menangani kasus tersebut, Dr Choo Wei Chieh, mengatakan membawanya ke rumah sakit bisa menambah beban rumah sakit yang sudah sibuk. Sang dokter menambahkan bahwa mengingat kondisi pria itu tidak stabil, maka sang pria kemungkinan akan berakhir di unit perawatan intensif, sementara ICU sedang overload.
Ahli dari Pusat Etika Biomedis NUS, Dr Anita Lim, mencontohkan, tidak ada mandat hukum bagi pasien Covid-19 untuk dirawat di rumah sakit. “Ini adalah keputusan medis, berdasarkan kondisi klinis pasien dan mempertimbangkan semua faktor yang relevan,” katanya.
Hanya saja, dia menambahkan bahwa setiap fleksibilitas dalam pengambilan keputusan perlu mempertimbangkan keselamatan perawat pasien. Ditanya siapa yang harus memiliki keputusan akhir dalam apa yang terjadi pada pasien yang sakit parah, dr. Lim mengatakan bahwa hal itu harus melalui diskusi keluarga.
“Keputusan ini harus dibuat dalam konsultasi dengan dokter lain,” katanya.
“Dalam keadaan seperti ini, keputusan harus dibuat sesuai dengan kepentingan terbaik pasien, mengikuti prinsip-prinsip etika semaksimal mungkin,” imbuhnya.
Jenazah pasien Covid-19 di Singapura dilapisi plastik dan harus ditempatkan di peti mati tertutup dan kemudian dijadikan satu oleh penyedia layanan pemakaman yang telah dilatih oleh National Center for Infectious Diseases.
Itu karena Covid-19 terutama ditularkan melalui droplet, seperti saat seseorang bersin atau batuk. Tetapi, virus itu masih bisa berada di permukaan tubuh atau dalam sekresinya. (jpc)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: