Soal Pengisian Wakil Wali Kota Tasik, Golkar Khawatir Terbentur Aturan

Soal Pengisian Wakil Wali Kota Tasik, Golkar Khawatir Terbentur Aturan

Ketua Fraksi Golkar Kota TasikA­malaya, H Isep Rislia mengA­akui dari aspek kebuA­tuhan, wali kota memA­butuhA­A­kan pendamA­ping. TerA­utaA­ma kaitan berA­bagi perA­an, tugas, mauA­pun beban sebaA­gai kepala daeA­rah dalam meA­nanggung perA­soalan yang terjadi di Kota Resik.


“Kalau melihat dari aspek kebutuhan memang akan lebih terbantu ketika wali kota memiliki wakil wali kota (wawali). Baik dalam mengambil kebijakan, atau merespons persoalan yang terjadi di tengah masyarakat, sehingga wali kota memiliki pasangan dalam berbagi peran dan tugas,” kata Isep kepada Radar, Selasa (28/9/2021).

Namun, kata dia, dari aspek aturan dan hukum, tentunya perlu dipertimbangkan dengan masa jabatan yang kurang dari 18 bulan, atau lebih tepatnya 14 bulan saja setelah wali kota H Muhammad Yusuf dilantik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan wali kota menjadi undang-undang.

“Pada Pasal 176 ayat 4 tertuang jelas bahwa pengisian kekosongan jabatan wakil, dilakukan jika sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan terhitung sejak kosongnya jabatan tersebut. Sementara Pak Wali secara definitif kemarin, menyisakan kekosongan wakil sekitar 14 bulanan,” papar Isep.

Anggota Komisi II DPRD Kota TasikA­malaya tersebut mengaku khawatir apabila dilakukan pengisian wawalil akan melabrak aturan. Sebab, ia memahami ketika kurang dari 18 bulan otomatis tidak bisa diisi mengingat sisa masa jabatan yang cenderung sebentar, namun ketika mesti diisi otomatis proses pengisiannya pun memakan waktu cukup signifikan.

“Di sini bukan berbicara cape tak cape, mau tak mau, tapi undang-undang secara aturan mengaturnya begitu. Kami melihat bukan konteks mau tak mau, karena secara regulasi sudah saklek,” ungkapnya.

Ia berharap semua pihak bisa mengerti kondisi tersebut. Memahami ketika sejumlah koordinasi atau komunikasi, bertumpu pada satu pemangku kebijakan saja, yakni kepala daerah tanpa wakil.

“Tinggal bagaimana sekda beserta jajarA­an pejabatnya bisa dioptimalkan dalam merespons pelayanan terhadap maA­syarakat, sebab saat ini kepala daeA­rah hanya satu orang saja,” jelas dia.(igi)


 Ketua Fraksi Golkar Kota TasikA­malaya, H Isep Rislia mengA­akui dari aspek kebuA­tuhan, wali kota memA­butuhA­A­kan pendamA­ping. TerA­utaA­ma kaitan berA­bagi perA­an, tugas, mauA­pun beban sebaA­gai kepala daeA­rah dalam meA­nanggung perA­soalan yang terjadi di Kota Resik.

“Kalau melihat dari aspek kebutuhan memang akan lebih terbantu ketika wali kota memiliki wakil wali kota (wawali). Baik dalam mengambil kebijakan, atau merespons persoalan yang terjadi di tengah masyarakat, sehingga wali kota memiliki pasangan dalam berbagi peran dan tugas,” kata Isep kepada Radar, Selasa (28/9/2021).

Namun, kata dia, dari aspek aturan dan hukum, tentunya perlu dipertimbangkan dengan masa jabatan yang kurang dari 18 bulan, atau lebih tepatnya 14 bulan saja setelah wali kota H Muhammad Yusuf dilantik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan wali kota menjadi undang-undang.

“Pada Pasal 176 ayat 4 tertuang jelas bahwa pengisian kekosongan jabatan wakil, dilakukan jika sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan terhitung sejak kosongnya jabatan tersebut. Sementara Pak Wali secara definitif kemarin, menyisakan kekosongan wakil sekitar 14 bulanan,” papar Isep.

Anggota Komisi II DPRD Kota TasikA­malaya tersebut mengaku khawatir apabila dilakukan pengisian wawalil akan melabrak aturan. Sebab, ia memahami ketika kurang dari 18 bulan otomatis tidak bisa diisi mengingat sisa masa jabatan yang cenderung sebentar, namun ketika mesti diisi otomatis proses pengisiannya pun memakan waktu cukup signifikan.

“Di sini bukan berbicara cape tak cape, mau tak mau, tapi undang-undang secara aturan mengaturnya begitu. Kami melihat bukan konteks mau tak mau, karena secara regulasi sudah saklek,” ungkapnya.

Ia berharap semua pihak bisa mengerti kondisi tersebut. Memahami ketika sejumlah koordinasi atau komunikasi, bertumpu pada satu pemangku kebijakan saja, yakni kepala daerah tanpa wakil.

“Tinggal bagaimana sekda beserta jajarA­an pejabatnya bisa dioptimalkan dalam merespons pelayanan terhadap maA­syarakat, sebab saat ini kepala daeA­rah hanya satu orang saja,” jelas dia.(igi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: