Ruang Publik Minim Filosofi

Ruang Publik Minim Filosofi

“Persoalan budaya bukan saja kerjaan Dinas Disporabudpar yang keberpihakan kepada budaya setengah hati. Buktinya sampai detik ini perda kebudayaan sama sekali tidak di perjuangkan padahal perda ini sangat penting,” kelakarnya. 

Bukan hanya alun-alun dan taman kota yang menjadi sorotannya. Tatang pun mengkritisi wilayah Dadaha. Dimana lokasi tersebut sejatinya merupakan magnet kota, yang semestinyaada perlakuan khusus. 

Selain kompleks olahraga itu sebagai paru-paru kota, ia dikenal di berbagai daerah sebagai ruang publik selaku lokasi helaran atau event.

BACA JUGA:Perkuat Bahasa Indonesia dengan Lompatan Katak

“Disamping Dadaha memiliki historikal mumpuni, namun keberpihakan pemerintah yang setengah hati cenderung ambigu. Saling tarik-menarik kepentingan antar dinas, ini yang menyebabkan Kota Tasikmalaya terlihat terbata-bata, budaya cari muka ke penguasa hal yang utama padahal sudah punya muka,” singgungnya.

Secara filosofis, Tatang menganalogikan ruang publik bukan sebatas areal yang hanya mengedepankan estetika. Melainkan juga menghitung aspek ke­sejarah­annya. Sosiologi, antro­pologi bahkan ke per­solan fungsi dan realitas kongkret yang di potret lewat kacamata semiotik.

“Maka, kami menekankan ke depan dalam merias atau men­dekor suatu ruang publik, harus perhitungkan secara kom­prehensif,” beber Tatang. (igi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: