Ketua MPR Bilang Amandemen UUD 1945 Bukan Sesuatu yang Tabu, DPD Usulkan Adanya Capres Jalur Perorangan

Ketua MPR Bilang Amandemen UUD 1945 Bukan Sesuatu yang Tabu, DPD Usulkan  Adanya Capres Jalur Perorangan

Radartasik.com, JAKARTA — Wacana amandemen UUD 1945 masih terus menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Ada yang setuju. Ada pula yang tidak. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang secara implisit mendukung adanya amandemen tersebut.

Menurut Bamsoet,  amandemen UUD 1945 bukanlah sesuatu yang tabu dilakukan. Namun khusus untuk pasal 7 UUD 1945 yang mengatur masa jabatan presiden dan wakil presiden dirinya menolak untuk diutak atik.


“Idealnya, konstitusi yang dibangun dan perjuangkan adalah konstitusi yang hidup. Sehingga mampu menjawab segala tantangan zaman. Serta konstitusi yang bekerja dan yang benar-benar dijadikan rujukan dan dilaksanakan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” ujar Bamsoet dalam sebuah diskusi virtual di Jakarta, Kamis (16/09/2021).

Dia membandingkan dengan Amerika Serikat. Menurutnya, negara adidaya itu selama ini menjadi rujukan dalam implementasi sistem demokrasi seluruh dunia. “Di Amerika lebih dari 27 kali dilakukan amandemen konstitusi,” imbuhnya.

Dikatakan, agar konstitusi hidup dan bekerja, maka konstitusi tidak boleh anti terhadap perubahan. Sebab, perubahan zaman adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat terhindarkan.

“Tugas kita adalah memastikan perubahan tersebut menuju arah yang lebih baik. Tentunya tetap memastikan kelestarian nilai-nilai luhur yang menjadi original para founding fathers saat mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Termasuk merumuskan naskah konstitusi,” papar politisi Partai Golkar ini.

Bamsoet tidak menampik adanya kekhawatiran sebagian kalangan yang curiga amandemen terbatas UUD 1945 tersebut, membuka peluang pada beragam substansi lain di luar Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Misalnya, masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode.

“Menyikapi isu ini, saya perlu menegaskan MPR RI tidak pernah melakukan pembahasan apapun untuk mengubah pasal 7 UUD 1945. Pasal ini mengatur tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden. Isu tersebut tidak pernah dibahas di MPR. Baik dalam forum rapat pimpinan, rapat-rapat alat kelengkapan MPR, ataupun rapat gabungan pimpinan MPR dengan pimpinan fraksi,” pungkasnya. 

Sementara itu, Sekretaris Kelompok DPD di MPR M. Syukur mengatakan jika terkait wacana amendemen UUD 1945, DPD RI ikut mengkaji isu-isu yang terkait dengan amendemen tersebut. Mulai dari adanya calon perseorangan, Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), ataupun penguatan DPD RI. 

“Amendemen ini bisa menjawab persoalan-persoalan saat ini. Bukan hanya soal DPD saja, tetapi semua hal. Kalau hanya soal DPD RI saja, timbul pernyataan DPD hanya mengurusi perutnya saja. Jadi kami memikirkan untuk kepentingan bangsa dan negara,” ucapnya, Kamis (16/09/2021).

Salah satu yang disoroti Syukur adalah terkait adanya presidential treshold (ambang batas) partai dalam mencalonkan presiden. Adanya ambang batas tersebut menutup munculnya calon perseorangan. 

Menurutnya DPD RI sendiri telah menyuarakan terkait calon presiden perseorangan sejak 2009. Dan hal tersebut harus dikaji dalam wacana amendemen 1945.

“Kalau betul-betul bicara demokrasi, kenapa demokrasi kita seolah-olah habis dibagi oleh partai politik saja. Kenapa ada ambang batas. Kalau betul 2024 komposisinya seperti ini, di tahun 2024 hanya ada satu calon presiden. Apakah kita mau seperti ini?” tegasnya.

Sementara itu, Anggota DPD RI Ahmad Kanedi mengatakan jika dirinya memperoleh aspirasi masyarakat yang menginginkan adanya calon persiden perseorangan. Karena masyarakat menilai, banyak tokoh yang memiliki kemampuan menjadi presiden, tetapi justru terhambat oleh aturan yang ada.

“Saya sering ke desa-desa, sering mendengar seperti itu. Itu murni yang menjadi suara masyarakat. Banyak yang bertanya, kenapa presiden itu tidak bisa dari calon perseorangan,” katanya. 

Senada dengan Kanedi, Anggota DPD RI Alirman Sori mengatakan, wacana amendemen yang dilontarkan DPD RI karena ingin membongkar ketidakadilan. 

Adanya kehendak untuk menghapus ambang batas calon presiden bukan dari DPD RI, tetapi dari suara bangsa Indonesia. Ia menilai jangan sampai sistem politik di Indonesia hanya dikuasai oleh kelompok tertentu saja.

“Keinginan DPD bukan semata-mata untuk DPD. Misal pasal 22D. Kami tidak minta banyak. Seperti ayat 1, kami ingin menghilangkan kata dapat, itu saja. Apa yang kami lakukan ini untuk kepentingan bangsa dan negara, karena kami dituntut oleh daerah,” tukasnya. (khf/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: