Waduh... Biaya Proyek Kereta Cepat Bengkak Rp26,9 Triliun, Padahal Dulu Dianggap Lebih Murah dari Jepang

Waduh... Biaya Proyek Kereta Cepat Bengkak Rp26,9 Triliun, Padahal Dulu Dianggap Lebih Murah dari Jepang

Radartasik.com, JAKARTA - Proyek Kereta Cepat Jakarta—Bandung mengalami pembengkakan biaya proyek mencapai USD 1,9 miliar atau sekitar Rp26,9 triliun. Jika ditotal dengan biaya saat ini, proyek kerja sama Indonesia-Tiongkok itu menembus USD 7,97 miliar atau mencapai Rp113 triliun. Angka tersebut justru lebih besar dari biaya yang ditawarkan Jepang untuk menggarap proyek tersebut yaitu sebesar USD6,2 miliar.

Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan, penyebab kerugian tersebut karena keterlambatan pembebasan lahan, perencanaan yang terlalu optimistis, dan kurang kuatnya manajemen proyek. Pembengkakan estimasi biaya pembangunan juga sudah terjadi pada 2016 saat revisi jarak tengah antar rel ganda membuat biaya megaproyek kereta cepat itu menelan biaya lebih dari USD 5,135 miliar.

Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko KAI Salusra Wijaya menjelaskan, awalnya biaya proyek mencapai USD 6,07 miliar atau sekitar Rp 85 triliun. Kemudian, di tengah jalan ada kemungkinan biaya membengkak setelah peninjauan konsultan PT Konsorsium Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) selaku pemilik proyek dilakukan.

”Awalnya USD 6,07 miliar tadi perkiraannya berkembang menjadi USD 8,6 miliar waktu itu diestimasi pada November 2020 oleh konsultan dari KCIC,” ujar Salusra Wijaya dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Rabu (01/09).

Menurut dia, penyebab pembengkakan biaya proyek tersebut diketahui pada September 2020 ketika mengalami keterlambatan. Selain itu, juga mengalami kendala pembebasan lahan. Karena itu pemerintah meminta KCIC untuk melakukan peninjauan ulang.

Kemudian, lanjut dia, setelah hasil peninjauan pada November 2020, pada peninjauan ulang yang pertama, pembengkakan biaya proyek tercatat mencapai USD 2,5 miliar atau totalnya menjadi USD 8,6 miliar.


Alasan Lebih Pilih Tiongkok Ketimbang Jepang
Pembangunan proyek tersebut dimulai setelah pemerintah memutuskan bermitra dengan Tiongkok dibandingkan dengan Jepang. Terpilihnya Tiongkok berdasar beberapa hal yang dianggap lebih menguntungkan dibandingkan bermitra dengan Jepang.

Setelah Tiongkok mengalahkan Jepang dalam sayembara penggarapan proyek tersebut, Tiongkok membentuk anak usaha baru dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam menggarap proyek senilai Rp77 triliun itu.

Adapun alasan pemerintah RI lebih memilih Tiongkok ketimbang Jepang di antaranya, Tiongkok menawarkan nilai proyek total sebesar USD 5,5 miliar, sedangkan Jepang menawarkan lebih mahal, yaitu USD 6,2 miliar. Kemudian, dalam proposal Tiongkok menyatakan tidak ada jaminan pemerintah, pembiayaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan subsidi tarif dan cost overrun menjadi tanggung jawab joint venture company. Sedangkan Jepang meminta ada jaminan pemerintah, dan risiko ditanggung pemerintah.

Lalu, dalam konsep bisnis, Tiongkok berbentuk joint venture company dengan Indonesia memiliki saham 60 persen dan Tiongkok 40 persen, dengan risiko proyek ditanggung perusahaan joint venture tersebut. Sedangkan Jepang menawarkan sistem kontraktor biasa yaitu berupa engineering, procurement and construction (EPC) dengan risiko ditanggung pemerintah.

Selanjutnya, mengenai pengadaan lahan, Tiongkok tidak ada tanggung jawab apapun oleh pemerintah sedangkan Jepang meminta pemerintah untuk pengadaan dan pembebasan lahan. Tiongkok mampu menawarkan penggunaan lokal konten dalam kereta cepat mencapai 58,6 persen. Sedangkan Jepang hanya 40 persen.

Bahkan, Tiongkok menjanjikan mampu menciptakan lapangan kerja baru sebesar 39 ribu saat konstruksi dengan pekerja Tiongkok hanya dilibatkan sebatas expert. Sementara dari Jepang, penyerapan tenaga kerja hanya 35 ribu yang melibatkan banyak pekerja orang Jepang.

Dari sisi teknologi pun kereta cepat dari Tiongkok memiliki teknologi Siemens yang dikembangkan di Tiongkok sejak 2003. Kecepatan maksimal 380 km/jam. Teknologi yang diterapkan cocok dengan kondisi tropis Indonesia. Selain itu, Tiongkok juga menawarkan transfer teknologi secara terbuka.

Sedangkan Jepang, teknologi yang digunakan sudah dikembangkan lebih lama, yaitu sejak  1964. Hanya saja, tidak ada transfer teknologi secara terbuka yang ditawarkan. Dalam hal pengalihan teknologi, Tiongkok juga menawarkan pembangunan pabrik rolling stok (gerbong) di Indonesia. Sementara Jepang tidak menawarkan program alih teknologi.

Dalam menutup pembengkakan biaya proyek tersebut, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan, sebesar 75 persen dari kerugian yang diasumsikan disetujui pemegang saham yaitu, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan juga gabungan perusahaan Tiongkok dalam perusahaan Beijing Yawan untuk ditutup oleh debt CDB.

Sebab, KCIC selaku pemilik proyek kereta cepat JakartaA­—Bandung merupakan gabungan dari beberapa BUMN yang mana 60 persen dari KCIC milik PSBI, sisanya adalah milik gabungan perusahaan Tiongkok. KAI sendiri merupakan salah satu perusahaan yang berada di dalam PSBI.

Selanjutnya, pembengkakan biaya tersebut akan diusulkan agar dapat dipenuhi melalui penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 4,1 triliun pada PT KAI (Persero). ”Saat ini sedang melakukan diskusi dengan cost overrun saya rasa untuk tahun depan bukan tahun ini,” kata Kartika dalam rapat kerja dengan Komisi VI, Kamis (08/07/2021). (jpc)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: