Mantan Ketua KPK: Negeri Ini Semakin Lucu

Mantan Ketua KPK: Negeri Ini Semakin Lucu

Radartasik.com, JAKARTA — Hinaan masyarakat yang ditujukan kepada terduga koruptor, meski belum diputus bersalah oleh pengadilan, sudah menjadi dinamika dalam suatu tindak pidana korupsi.

Pernyataan itu disampaikan mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menanggapi pertimbangan yang meringankan bagi majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam menjatuhkan vonis 12 tahun terhadap eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara.

”Kalau soal caci maki itu dinamika aksi-reaksi. Siapa suruh korupsi?” kata Saut ketika dihubungi pada Senin (23/08/2021).

Ia menekankan cacian bahkan tak hanya diterima koruptor. Namun, aparat penegak hukum juga acap kali menerima reaksi yang serupa dari masyarakat ketika menangani perkara korupsi.

”Jangankan tersangka koruptor, yang menangakapi koruptor aja dicaci maki. Dibilang Taliban lah, dan lain-lain,” tandasnya.

Saut menyatakan apabila menteri melakukan korupsi justru sepatutnya diberikan pemberatan hukuman. Terlebih, perbuatan korupsi dilakukan terhadap dana bantuan sosial (bansos) yang digunakan untuk penanganan bencana seperti wabah Covid-19.

”Jadi kalau itu jadi alasan yang meringankan maka negeri ini semakin lucu,” tegasnya.

Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor menilai Juliari Peter Batubara sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dan dihina oleh masyarakat akibat perbuatannya dalam kasus suap bantuan sosial (bansos) Covid-19 Jabodetabek 2020.

Pernyataan itu tertuang dalam hal yang meringankan bagi hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap Juliari.

Diketahui, Juliari Peter Batubara divonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.

Ia dinyatakan terbukti menerima suap senilai Rp 32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial sembako Covid-19 di wilayah Jabodetabek.

Di antara suap yang berasal dari 109 perusahaan tersebut, Juliari menerima sebanyak Rp 1,28 miliar dari Harry van Sidabukke dan Rp 1,95 miliar dari Ardian Iskandar M.

Juliari juga diwajibkan untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 14.597.450.000. Hak politiknya turut dicabut selama empat tahun usai menjalani pidana pokok.

Putusan tersebut diketahui lebih tinggi dari tuntutan jaksa yang meminta majelis hakim menjatuhi pidana 11 tahun penjara terhadap Juliari.

Atas perbuatannya Juliari terbukti melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. (riz/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: