Kampanye Hitam Tekan Ekspor Minyak Sawit
Reporter:
ocean|
Selasa 27-07-2021,17:17 WIB
Radartasik.com, JAKARTA — Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung menjelaskan saat ini black compiegne (kampanye hitam) terhadap sawit terus terjadi.
Kampanye hitam ini disebarkan karena ada kekhawatiran produsen minyak nabati non sawit seperti minyak kedelai dan bunga matahari sulit bersaing dengan produktivitas minyak sawit.
”Saat ini kelapa sawit dan kehutanan diserang kampanye hitam karena menggunakan isu yang mengada-ada dan berlebihan. Beragam isu tadi harus diwaspadai karena dapat menekan daya Indonesia di pasar internasional,” kata dia, Selasa (27/07/2021).
Menurut Tungkot, tekanan kampanye hitam kepada daya saing komoditas-komoditas unggulan ditujukan untuk aspek selera atau permintaan konsumen dan biaya pokok produksi.
”Harus diingat faktor selera masyarakat dan biaya pokok produksi ini menjadi jantung daya saing. Kampanye hitam berupaya menghantam melalui dua faktor tadi,” ujarnya.
Terlebih lagi, kata dia, pola dan isu kampanye hitam berupaya mempengaruhi perilaku orang supaya tidak lagi menggunakan komoditas alam yang merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia.
”Kampanye ini membidik negara-negara konsumen seperti di Eropa, Tiongkok, dan India,” tuturnya.
Untuk mengubah selera konsumen terhadap sawit misalkan, dikatakan dia, dimunculkan kampanye palm oil free (bebas minyak sawit) di sejumlah produk makanan.
Menurutnya, kampanye hitam ini didukung beragam isu yang memojokkan kelapa sawit seperti merusak ekosistem lingkungan, pembakaran secara masif hingga isu eksploitasi masyarakat lokal.
”Memang, jangka pendek dampak kampanye ini belum dirasakan. Akan tetapi secara jangka panjang haruslah diwaspadai karena masyarakat berpotensi meninggalkan produk-produk alam nasional.”
”Kalau produk sudah ditinggalkan, sangat sulit untuk mengajak orang kembali,” ujar peraih gelar doktor di IPB ini.
Berikutnya adalah biaya pokok produksi akan meningkat sebagai dampak kampanye hitam. Tungkot menguraikan sejumlah NGO memaksakan tuntutan kepada perusahaan dengan kedok isu lingkungan dan sosial.
”Tuntutan ini dikemas sangat rapi dengan alasan prinsip sustainability. Padahal, kewajiban menjalankan tuntutan ini membuat biaya pokok produksi bertambah,” katanya.
Untuk itu, dia meminta, pemerintah dan pelaku industri mewaspadai efek jangka panjang kampanye hitam LSM ini.
Lantaran, dampak kampanye sudah terlihat seperti penggunaan label No Palm Oil di dalam negeri hingga usaha memberikan tekanan-tekanan kepada lembaga-lembaga sertifikasi nasional maupun internasional.
”Yang harus diwaspadai jejaring LSM asing yang beroperasi di Indonesia yang digunakan oleh kepentingan asing untuk menghantam Indonesia,” ujarnya.
Sebagai contoh, lanjut dia, Mighty Earth aktif berkampanye untuk menyudutkan sumber daya alam seperti produk kayu dan sawit; dengan mengatasnamakan kepentingan masyarakat. Padahal lembaga ini tidak punya izin untuk beroperasi di Indonesia.
”Karena banyak LSM lokal dan asing yang tidak punya legalitas badan di Indonesia. Pemerintah memiliki legalitas untuk membekukan ormas melalui perpu pembubaran atau UU ormas. Apa pun itu pemerintah harus lebih tegas terhadap LSM yang sudah membuat pemerintah repot,” jelasnya.
Berdasarkan penelusuran, LSM asing seperti Mighty Earth tidak dilengkapi entitas legal baik di Amerika maupun Indonesia.
LSM ini ternyata bagian dari Waxman Strategies, sebuah perusahaan lobbyist politik milik Henry Waxman yang merupakan mantan anggota parlemen Amerika Serikat.
Mengomentari adanya kampanye hitam terhadap komoditas alam Indonesia, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan RI Kasan Muhri menjelaskan, maraknya kampanye negatif ditujukan untuk menekan daya saing Indonesia di pasar internasional.
Lantaran, tingginya produktivitas komoditas dalam negeri seperti sawit yang menjadi ancaman bagi industri yang dihasilkan negara-negara di Uni Eropa.
”Sebenarnya, hambatan non tarif ini bagian persaingan dagang. Sawit, misalnya, ini head to head dengan minyak nabati lain di Eropa seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan kanola.”
”Karena, minyak nabati non sawit ini kalah dari segi produktivitas dan harga. Akibatnya sawit terus diganggu dengan kampanye negatif,” jelas Kasan.
Kasan juga memaparkan kontribusi sawit terhadap ekspor non migas sebesar 13,6% sepanjang 2020. Capaian ini menunjukkan selama pandemi, industri sawit tetap tangguh. Sebab, kelapa sawit menjadi bagian dari bahan baku produk sektor makanan, kebersihan, dan kesehatan.
Meski demikian, di pasar internasional ekspor sawit Indonesia masih terus menghadapi tantangan dari hambatan non tarif seperti isu lingkungan dan kesehatan yang dikampanyekan sejumlah LSM internasional seperti yang dilakukan Greenpeace, Mighty Earth, Rainforest Action Network (RAN) dan lainnya belakangan ini.
Saat ini, hambatan utama perdagangan sawit masih berasal dari kebijakan non-tarif terutama di Uni Eropa. Maraknya kampanye negatif ditujukan menekan daya saing sawit.
Lantaran, tingginya produktivitas minyak sawit menjadi ancaman bagi minyak nabati yang dihasilkan negara-negara di Uni Eropa.
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Dr Ir Gulat Manurung, MP.C.APO menegaskan, kampanye negatif dengan kedok lingkungan selama ini adalah bagian politik dagang internasional. Tujuannya negara importir bisa membeli CPO dengan harga murah.
Fakta lain yang perlu diketahui bahwa isu kampanye negatif tentang sawit berbanding lurus dengan impor dari negara-negara UE.
”Ketergantungan Uni Eropa terhadap minyak sawit sangatlah tinggi. Makanya, Eropa ingin membeli UE CPO Indonesia dengan harga semurah mungkin,” tegasnya.
Gulat menyatakan Indonesia harus berani menyerang apabila sawit terus ditekan negara lain. Ibaratnya, ”berhenti menjadi penjaga gawang” lalu beralih menjadi penyerang.
Menurut dia, harus dipahami bahwa sebagian besar minyak kanola dan minyak bunga matahari dihasilkan oleh petani lokal di Eropa.
”Tak terbantahkan bahwa kampanye negatif tentang sawit bagian politik dagang. Produktivitas sawit yang jauh lebih tinggi membuat penggunaan lahan jauh lebih kecil dibandingkan minyak nabati lainnya,” kata dia.
”Kalau sawit di-phase out akan memicu deforestasi lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan dunia,” pungkasnya. (der/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: