TASIKMALAYA, RADARTASIK.COM - Pendidikan inklusif sejatinya mengandung makna pendidikan antidiskriminasi bagi semua anak untuk mendapatkan layanan pendidikan berkualitas.
Sesuai komitmen Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, mereka harus mendapatkan akses pada layanan pendidikan bermutu untuk mengoptimalkan tumbuh kembang dan menyambut masa depan yang lebih baik.
Sayangnya, pendidikan inklusif yang diterapkan sampai saat ini masih terbatas pada pemahaman untuk memastikan sekolah yang siap melayani anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).
Padahal, pendidikan inklusif juga harus memastikan semua anak dengan masalah sosial ekonomi, geografis, hingga kelompok marjinal mendapatkan layanan pendidikan tanpa hambatan.
BACA JUGA:Dorongan Sistem Zonasi PPDB di Kota Tasikmalaya Perlu Evaluasi Mengungat
Menurut Ketua KPAID Kota Tasikmalaya, Rina Marlina, hingga saat ini masih muncul miskonsepsi bahwa pendidikan inklusif untuk memastikan penyandang disabilitas, bisa belajar di sekolah reguler. Sehingga sekolah memastikan tersedianya sarana dan prasarana yang aksesibel serta guru khusus.
"Banyak diskriminasi yang kita temukan," ujar Rina usai menggelar Talkshow Layanan Pemenuhan Hak Anak Disabilitas di Kantor Kelurahan Mangkubumi, belum lama ini 9 Juli 2024.
"Misalnya di masyarakat kadang-kadang anak pada umumnya tidak mau berteman dengan anak disabilitas. Mau masuk sekolah reguler ditolak, karena sekolahnya belum siap," sambungnya.
Dalam praktik di lapangan, pendidikan masih lebih didominasi pengakuan terhadap sekolah formal.
BACA JUGA:Jadwal Peluncuran OPPO Reno 12 Series 5G di Indonesia, HP dengan AI Portrait dan Ai LinkBoost
Akibatnya, terang Rina, pemerintah pusat hingga daerah juga mengatur pendidikan nonformal ataupun informal dengan syarat-syarat menyerupai pendidikan formal sehingga menimbulkan hambatan untuk mewujudkan pendidikan yang inklusif.
"SLB di Kota Tasikmalaya terbatas. Padahal ada best practice yang dilakukan teman-teman di lapangan itu tidak harus anak (disabilitas) sekolah di SLB. Sebab di peraturan jelas anak disabilitas harus mendapatkan layanan pendidikan yang inklusif," terangnya.
Rina bahkan menyebutkan dari 764 anak disabilitas yang terdata KPAID, banyak orang tua yang kebingungan mesti menyekolahkan anaknya ke mana.
"Ada banyak hal misalnya kayak anak yang celebray palsy, itu belum mendapatkan pendidikan. Beberapa ya kadang-kadang orang tua juga bingung mau bagaimana sekolahnya gitu kan, sementara dia juga nampak tidak bisa apa-apa," bebernya.