Namun, untuk menjadi breaker atau pengguna radio CB pada tahun 80-an, diperlukan modal yang cukup tinggi.
BACA JUGA: Ayah Simone Inzaghi Setuju Anaknya Mirip Carlo Ancelotti: Mereka Tidak Silau oleh Kesuksesan
Harganya bervariasi antara Rp 200 ribu hingga Rp 800 ribu.
Hal ini bisa dikatakan cukup mahal pada masa itu, dengan asumsi nilai tukar dolar sebesar Rp 2000.
Mereka yang benar-benar menyukai dunia ngebreak dapat mendapatkan call sign sebagai tanda resmi yang terdaftar sebagai anggota ORARI (Organisasi Amatir Radio Republik Indonesia).
Bagi mereka yang memiliki modal terbatas namun memiliki kreativitas, mereka dapat mengulik dan merakit peralatan ngebrik sendiri melalui jalur interkom.
Interkom adalah sistem komunikasi elektronik yang digunakan untuk proses komunikasi yang terbatas.
Kegiatan QSO, yaitu ngobrol di udara melalui radio CB, bisa berlangsung berjam-jam dan antusiasmenya sama dengan pengguna media sosial saat ini.
Namun, para breaker pada masa itu tidak dapat bergerak bebas, mereka hanya bisa berkomunikasi dari rumah masing-masing.
Mereka saling bertukar kabar, berkenalan, dan lainnya menggunakan kode dan istilah khas seperti break...break...rojer...dicopy...ganti, dan sebagainya. Kosa kata ini menjadi sangat viral pada era 80-an.
Fenomena ngobrol atau ngebrik lewat radio CB bahkan diabadikan melalui lagu.
Sebagai contoh, penyanyi Farid Hardja menciptakan lagu "Bercinta di Udara" yang menjadi salah satu soundtrack film Warkop DKI, menggambarkan popularitas aktivitas ngebrik pada masa itu.
Atau lagu "Cinta Lewat Intercom" yang dinyanyikan Iyut Bing Slamet dan Solid AG
Lagu-lagu tersebut menjadi kenangan yang menyenangkan dari era tersebut.
Walaupun fenomena ngobrol di udara melalui Radio CB sangat populer pada tahun 80-an, seiring perkembangan teknologi dan komunikasi digital, popularitasnya telah berkurang.