Oleh: Dahlan Iskan
DUA hari berturut-turut saya datang ke warung. Bersama jenderal polisi bintang tiga Boy Rafli Amar. Beliau pernah jadi kadiv Humas Mabes Polri dan kapolda Papua. Kini jadi kepala BNPT –Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Di warung itu saya bertemu banyak orang. Salah seorang di antaranya Khusnul Chotimah. Saya berbincang hampir 1,5 jam dengan wanita yang kini berusia 52 tahun itu. Rasanya tidak ada wanita yang mendapat musibah lebih berat dari dia. Tapi juga tidak ada yang punya jiwa lebih kuat dari dia. Saya ajak dia naik panggung. Minggu lalu. Di Warung NKRI di Kafe Hedon, Ngagel, Surabaya. Ada Dialog Kebangsaan di situ.
Tuhan memang tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan seseorang untuk menanggungnya. Tapi hanya Khusnul Chotimah yang mampu menerima penderitaan seberat ini.
Dia tidak hanya jadi korban bom Bali. Sampai pun wajah dan tubuhnya luka bakar lebih dari 60 persen.
Dia harus menjalani face off tiga tahap. Badannyi. Kakinyi. Dan wajahnyi. Harus direkonstruksi ulang. Harus pula menjalaninya lebih 30 kali operasi.
Dia lahir di Sidoarjo, Jatim. Dari TK, SD, SMP, sampai SMA sekolah di Muhammadiyah Sidoarjo. Yang di pusat kota itu. Alumnus Muhammadiyah ini jadi korban bom yang diledakkan oleh orang yang mengaku berjuang untuk Islam.
Ayah Khusnul seorang ustad. Sang ayah sudah melarang anak wanitanya itu bekerja di Bali. Tapi Khusnul tidak tahu harus bekerja apa di Sidoarjo. Diam-diam dia gadaikan sepeda pancalnyi. Dia ke Bali. Dia bikin usaha sablon di sana. Nyali Khusnul memang tinggi. Dia pesilat handal Tapak Suci. Levelnyi ban hitam. Ayahnyi sendiri yang menggembleng. Sang ayah juga seorang pendekar silat. Kesibukan utama sang ayah jadi penceramah agama di tingkat lokal. Wajahnya brewok. Jenggotnya panjang.
Khusnul juga seorang Bonek militan –Bonita, waktu SMA. Dia gemar nonton Persebaya ke Surabaya.
Saat bekerja di perusahaan sablon di Bali itu Khusnul dapat tawaran ke Taiwan. Jadi TKI. Kontraknyi tiga tahun. Tapi hanya dia jalani empat bulan. Pekerjaan di sana tidak sesuai dengan yang dijanjikan: mengurus satu orang tua. Ternyata harus mengurus tiga rumah sekaligus.
Khusnul pun pulang paksa. Kembali ke Bali. Semua itu keterangan versi Khusnul.
Sekembali dari Taiwan dia bekerja di sebuah hotel kecil. Di bagian penerima tamu. Lalu kawin dengan pemuda asal Sidoarjo yang dia kenal di Bali. Sang suami punya usaha sablon. Mereka pun dikaruniai dua anak. Laki-laki semua.
Malam itu di rumahnyi kedatangan tamu. Suami istri. Teman baik. Mereka asal Banyuwangi. Ketika sesama suami ngobrol, Khusnul mengajak istri tamu untuk membeli nasi. Tidak jauh. Jalan kaki saja. Mereka menyusuri gang menuju jalan raya. Jaraknya hanya sekitar 300 meter.
Di muara gang itu, biasanya ada penjual nasi Jinggo. Di kaki lima. Di pinggir jalan raya. Di depan kafe ternama. Jinggo itu dijaja di atas keranjang yang ditaruh di boncengan kereta angin. Itulah nasi bungkus khas Bali yang terkenal.
Jalan raya itu ramai sekali. Dua cafe di dekat Jinggo sudah mulai penuh pengunjung. Sudah pukul 21.00 lebih. Banyak pengunjung bule di situ. Jalan raya macet. Lalu-lintas tertahan oleh sebuah mobil yang berhenti di tengah jalan, persis di depan penjual Jinggo.