Oleh: Dahlan Iskan
AJAIB. FIFA tidak menghukum Indonesia. Ada yang bilang itu karena Pak Jokowi hebat. Ada yang berpendapat ini karena tidak dianggap kerusuhan sepakbola. Ini murni masalah aparat keamanan.
Presiden Jokowi memang menelepon presiden FIFA. Cepat sekali. Yakni hanya tiga hari setelah tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 suporter Arema FC.
Presiden kelihatannya memberikan banyak konsesi untuk perbaikan ke depan. Termasuk mengubah banyak stadion; agar sesuai dengan ketentuan organisasi induk sepakbola dunia itu. Juga berkomitmen untuk mengadopsi protokol pengamanan pertandingan yang ditetapkan FIFA. Menurut Presiden Jokowi, bulan depan atau depannya lagi presiden FIFA akan datang sendiri ke Indonesia. Untuk bertemu pemerintah.
Pokoknya Indonesia aman dari sanksi. Hebat sekali.
Saya mencatat Presiden Jokowi memang punya keinginan besar untuk memperbaiki sepakbola Indonesia. Sejak dulu. Di masa jabatan periode pertama, Presiden Jokowi berhasil merobohkan PSSI lama. Presiden SBY pun, menurut catatan saya, juga jengkel dengan PSSI saat itu. Beliau juga turun tangan untuk mengganti PSSI. Agak berhasil. Kongres dilakukan. Tapi yang terpilih tidak seperti yang dikehendaki Presiden SBY. Otonomi PSSI –tidak boleh dicampuri pemerintah– membuat pemerintah saat itu merasa sulit ikut campur.
Di zaman Pak Jokowi, PSSI berhasil dirobohkan. Caranya sangat canggih. Tanpa bisa dianggap mencampuri PSSI. Tapi ketika membangun kembali PSSI rupanya tidak juga bisa tuntas.
Maka kalau Presiden Jokowi memberikan banyak komitmen kepada FIFA, itu bukan hanya karena agar tidak kena sanksi. Beliau memang punya keinginan sepakbola maju. Mungkin dengan berkomitmen pada FIFA itulah jalan untuk memaksa sepakbola Indonesia bisa maju.
Tentu FIFA melarang aparat keamanan menggunakan gas air mata di stadion. Tapi penonton yang meloncat pagar juga dilarang. Hanya, apa saja hukuman bagi peloncat pagar belum ada. Yang jelas bukan ditendang atau dipukul. Apalagi disemprot gas air mata.
Sebenarnya ada bentuk hukuman administratif: dilarang masuk stadion. Bisa setahun, dua tahun, dan bahkan bisa seumur hidup. Berarti yang loncat pagar di Kanjuruhan, di Sidoarjo, di Gelora Bung Tomo Surabaya dan di mana saja harus ditangkap: untuk ditanya identitasnya. Lalu diserahkan ke klub setempat. Nama itu tidak bisa lagi beli karcis/gelang masuk stadion.
Sepanjang pengetahuan saya di Surabaya, pembeli karcis Persebaya harus mengisi nomor KTP. Identitas itu masuk ke barcode yang ada di gelang. Kemajuan teknologi bisa dipakai menghukum secara administrasi para peloncat pagar.
Polisi juga tidak perlu menahan mereka. Atau menginterogasi mereka. Mereka itu bukan penjahat. Mereka itu nakal. Ada yang sekadar kenakalan remaja –meski banyak orang dewasa ingin dimasukkan kategori remaja.
Polisi terlalu repot kalau harus mengurus anak-anak nakal itu. Kalau harus ditahan hanya akan menghabiskan jatah makanan. Kalau harus diinterogasi dan dibuatkan BAP, hanya ngabisin kertas. Dan menguras emosi polisi.
Jadi kalau ada yang loncat pagar dilihat saja mau apa ia. Paling ia hanya lari-lari muter lapangan. Biar dilihat penonton. Mereka mau show: ”Nih. Saya. Jagoan. Bisa masuk lapangan”! Lalu minta selfie dengan pemain. Selesai.
Setelah itu baru KTP diminta. Suruh ambil di kantor polisi. Datanya diserahkan ke klub. Agar dimasukkan daftar hitam pembelian karcis.