”Kaitan dengan kasino ilegal di Penangsa itu, Pak?”
”Bagian dari pengumpulan dana untuk promosi itu juga. Kayaknya dia mengincar jabatan penting. Perlu dana besar sekali,” kata Pak Rinto.
”Kenapa harus Putri ya, Pak?”
”Selain ada hubungan itu, Putri memang punya kemampuan untuk itu dan dia mau melakukan itu. Dia punya dealer besar di Palembang. Artinya sudah tahu betul bisnis mobil. Juga bisnis mengelola tempat hiburan yang dibaliknya kasino ilegal itu. Kamu harus ingat juga, ayahnya orang penting di mabes. Masih punya pengaruh besar,” katanya.
Mengingat-ingat percakapan itu, melihat hubungan kejadian-kejadian itu, lalu mengaitkannya juga dengan eskalasi politik menjelang pilwako, saya tiba-tiba disergap perasaan tak nyaman. Ada yang tidak beres. Peringatan Pak Rinto agar kami menurunkan tensi pemberitaan mungkin terkait dengan ini: akan ada kerusuhan besar. Untuk menutupi hal-hal besar yang ingin dihapuskan jejaknya.
Saya lekas keluar ruang sidang PN menemui Sapril. Ia cemas. ”Gawat, kacau ini, Bang,” katanya. ”Itu pendukung Awang dan Runi. Dari tadi tambah banyak.” Ia menunjuk ke arah kelompok massa di satu sudut, ke arah orang-orang yang memakai kaus seragam. Mereka mengikat kepala dengan kain kuning. Sapril menunjuk kelompok lain. Sama banyaknya. Dengan kaus seragam lain dan kain selendang merah sebagai identitas penanda.
”Abang balik kantor aja, Bang. Tak aman di sini,” kata Sapril.
”Kalian lekas kembali ke kantor kalau sudah tak ada lagi yang perlu diikuti di sini. Kamu terutama, Pril. Foto selamatkan dulu, pastikan kita sudah dapat foto yang bagus,” kataku.
”Bawa aja laptop saya, Bang. Tadi foto-foto Sebagian sudah saya pindahkan ke laptop. Buat jaga-jaga, yang di kamera belum saya hapus juga,” kata Sapril sambil keluarkan laptop dari ranselnya. Saya mengajak Edo meninggalkan PN.
”Ke kantor, Bang?”
”Iya,” kataku, tapi tiba-tiba aku mencemaskan Inayah. Cemas dan rindu. Beberapa waktu lalu dia bercerita ingin membuka semacam layanan rumah aman bagi pekerja perempuan yang bermasalah. Dia punya kegiatan di luar pesantren, yaitu pengajian rutin untuk beberapa kelompok pekerja wanita di dormitory. Ia bergantian dengan beberapa ustad dan ustadzah di Alhidayah.
”Kita ke pesantren dulu, Do,” kataku.
Saya menelepon Inayah. Jawabannya menambah kecemasan saya. Ia tak mengangkat telepon dan membalas dengan SMS, saya sedang menuju ke Bluebeach. Nanti saya ceritakan. Tak bisa bicara sekarang. Lagi sama beberapa polwan.
Saya menelepon Ustad Samsu. Saya langsung bertanya soal Inayah.
”Ada tiga orang perempuan datang minta perlindungan ke pesantren. Mereka sepertinya bingung tak tahu mau sembunyi di mana. Ada temannya di dormitory yang kenal sama Inayah. Mereka mengaku lari dari hotel Bluebeach di Penangsa. Kondisinya mengenaskan. Mereka mengaku disiksa. Mereka tak tahan dan berusaha kabur,” kata Ustad Samsu.
”Inayah ke sana mau apa, Ustaz?” tanyaku.