Saya memandangi kawan-kawan Edo. Mereka membalas pandanganku seperti pasukan menunggu perintah komandan.
Edo mungkin paham kebingunganku. Ia menjelaskan dengan ringkas tentang geng Terpedo yang ia kumpulkan. ”Teman-teman ini perlu pekerjaan,” kata Edo.
”Bagaimana bisa dapat kerja di INN Café ini?” tanyaku.
”Bang Jon yang bantu,” kata Edo.
Saya memandangi Edo. Melihat ketulusannya membantu kawan-kawannya. Saya juga diam-diam salut sama Bang Jon. Urusan Edo dan Terpedo tak bisa saya campuri. Dalam hati saya timbul juga rasa aman, ada yang melindungi. Hari-hari ke depan mungkin saya memerlukan itu.
”Tadi saya lihat ada pemred Podium Kota bareng mereka,” kata Yon. Yon menggerutu. Kesal sekali ia. Yon bilang ia bisa suruh sekuriti usir mereka.
”Sudah, Yon. Biarkan saja,” kataku.
AKBP Pintor dibawa ke Borgam. Kedatangannya disambut dan dielu-elukan massa yang menunggu sejak pagi. Seperti pahlawan besar. Ia langsung dibawa dan ditahan di tahanan Kejari dengan status tersangka.
Di Bandara Hang Tuah, pengacaranya, Johnson Panjaitan SH, langsung menggelar jumpa pers. Ia yakin kliennya tak bersalah, penetapan kliennya sebagai tersangka katanya hanya fitnah. ”Penyidik kasus ini tiba-tiba diganti. Ada penyidik yang punya dendam pribadi pada AKBP Pintor. Tak cukup bukti untuk menersangkakan klien kami. Nanti saya buktikan di pengadilan,” katanya.
Awang, Runi, dan AKBP Pintor diajukan kembali ke persidangan dengan dakwaan terpisah. Pengacara Restu Suryono dan tim tetap jadi pembela Awang dan Runi.
Kesaksian Awang dan Runi menguatkan dakwaan pada AKBP Pintor. Cerita yang ditangkap dari sidang sebelumnya menjelaskan bagaimana AKBP Pintor meminta Awang untuk membunuh Putri, tiga minggu sebelum kejadian. Dengan janji dibayar Rp50 juta.
Awang diberi ATM untuk menarik uang, dengan secarik kode PIN. Lalu Awang dan Runi diberi tiket kapal agar pergi meninggalkan Borgam. Awang menerima uang Rp 2 juta setelah membuang mayat Putri dan menunggu di hotel Bersama Runi dan Zakia, anak korban dan AKBP Pintor. Anak itu akan dijemput dan diserahkan ke AKBP Pintor setelah sisa uang yang dijanjikan diserahkan. Garis besarnya begitu. Saya menyiapkan tim liputan, membuka lagi seluruh berita kami, dan membuka lembar kertas baru di dinding ruang rapat.
Nenia meng-SMS, bertanya kapan saya bisa menemuinya. Sore itu dia ada waktu. Edo mengantarku ke Hotel Bluebeach Resort. Tampak tak berbeda dengan resort yang lain. Kasino itu, kabarnya, ada di ruangan besar di basement. Juga di lantai paling atas, yang punya akses khusus.
Nenia menemuiku di ruang meeting hotel. ”Aku lagi break sebentar. Terima kasih ya sudah datang,” kata Nenia. Dia berpakaian sangat professional. Dengan setelan yang pas di badan. ”Apa kabarnya Bang Eel?” tanya Nenia.
Tadinya justru saya yang mau bertanya soal itu, belakangan Bang Eel jarang bercerita soal soal hubungan mereka berdua. ”Kamu masih ketemu dia kan?” tanyaku. Tapi kupikir pertanyaan itu salah, membuat Nenia tak nyaman, mengingat pertemuan kami di INN Café.
”Itulah yang aku mau tanyakan ke kamu, Dur,” kata Nenia. “Beberapa waktu lalu dia ajak saya menikah.”