Siapa Membunuh Putri (22) - Putusan Sela

Sabtu 24-09-2022,05:10 WIB

”Ketika ditemukan, mayatnya langsung dibawa ke Palembang dan dimakamkan. Tak ada otopsi. Itu sangat menyalahi prosedur. BAP yang dipakai di persidangan itu bermasalah,” kata Brigadir Hilmi. 

”Bisa diperkirakan jam berapa ya, Pak, pembunuhannya dilakukan,” tanya Nurikmal. Dia memang orang yang paling analitis di antara kami bertiga.

”Pasti dilakukan saat anaknya tak ada di rumah. Pembantunya membawa anaknya ke sekolah, bersama pacarnya itu. Itu hari Jumat. Pacarnya lalu pulang. Saat itu diperkirakan Putri sudah dibunuh. Jadi antara jam itulah. Awang lalu ditawari dengan bayaran Rp50 juta seperti yang dia akui, untuk membuang mayat Putri. Itu gambaran kasar kasusnya,” kata Brigadir Hilmi.

Ia menyambung, ”seperti yang saya bilang tadi, ini bukan kasus yang rumit. Sederhana. Mudah. Menjadi rumit, berbelit karena ada upaya menutupinya. Dibuatlah rekayasa. Sebagai penyidik saya sebenarnya malu. Malu sekali.”

Di akhir pertemuan, sebelum kami berpisah Brigadir Helmi berterima kasih dan berpesan agar kami jangan takut dan jangan berhenti meragukan keterangan polisi dan mengkritisi persidangan. Dia katakan, kami telah membantu dan mendorong polisi melakukan pembenahan dimulai dari kasus ini. 

Beberapa hari setelah pertemuan kami itu, sehari sebelum sidang putusan sela terjadi mutasi besar di Polresta Borgam. Posisi sejumlah perwira digeser. Tim pengusutan kasus pembunuhan Putri yang lama dibubarkan, di bawah inspeksi tim mabes Polri dibentuk tim baru. Brigadir Hilmi masuk di tim tersebut. Posisi AKBP Pintor sebagai kepala satreskrimsus pun dicopot. Dia jadi perwira nonjob.

Bagi kami putusan sela PN Borgam tak terlalu mengejutkan. Apa yang disampaikan Brigadir Hilmi membantu kami memprediksidengan tepat apa yang hakim putuskan hari itu. Dakwaan bagi kedua tersangka dianggap tak mencukupi untuk dilanjutkan ke tahap pemeriksaan. Hakim meminta dilakukan penyidikan ulang, terutama otopsi atas korban, untuk melengkapi bukti-bukti. Hakim juga memerintahkan agar AKBP Pintor sebagai saksi diperiksa kemungkinan keterlibatannya sebagai tersangka.

Putusan sela hari itu, seperti menjadi bagian dari kemenangan kami. Kemenangan publik. Kemenangan rasa keadilan. Ibunda Putri histeris. Menyebut-nyebut pengadilan sesat, hakim jahat. Berteriak-teriak, ”anakku dibunuh, menantuku difitnah. Kalian jahat semua! Awas hukuman Tuhan nanti akan datang pada kalian!” 

Sementara ayahanda Putri sepanjang sidang hingga putusan sela selesai dibacakan wajahnya merengut seperti tampang Churchill yang kesal karena cerutunya direnggut langsung dari mulutnya oleh fotografer Yousuf Karsh sebelum dijepret. 

Hari-hari itu hingga berminggu-minggu kemudian oplah koran kami naik tinggi. Kadang-kadang saya berpikir apakah kami ini sedang menjual sensasi? Di saat lain saya berpikir tidak, kami sedang melayani publik, memberi rasa adil, memberi contoh bahwa keadilan bisa ditegakkan. 

Rasa adil itu bisa hadir. Memang tidak mudah, tapi bisa. Ketika sampai pada pemikiran seperti itu saya merasa tak salah memilih pekerjaan sebagai wartawan. Saya merasa berguna menjalani profesi ini. 

Pekerjaan kami mengawal kasus ini akan semakin panjang. Dan pasti akan semakin menarik. Kami ada pada posisi yang kukuh untuk mengikuti dan mengejar kemanapun kasus ini bergerak dengan segala eksesnya. 

Sementara itu, kesibukan di redaksi yang semakin padat, membuat saya bisa melupakan Suriyana. Ah, dusta. Tak mungkin saya bisa lupakan dia. Mengikhlaskan dia menjadi milik lelaki lain saja rasanya berat. Tapi, bukankah saya sebenarnya tak pernah memiliki dia? Dan dia pun mungkin tak pernah merasa memilikiku?

Saya masih berharap Suriyana membatalkan pertunangan dan pernikahan dia dengan Azeem. Atau akan terjadi sesuatu sehingga rencana itu batal. Tak tahulah saya, cinta memang tak masuk akal, bikin imajinasi jadi jahat dan kejam. 

Hati dan hari-hariku terisi dan terhibur oleh Inayah. Memenuh. Meneduh. Dia adalah terjemahan lain dari cinta. Cinta yang membuatnya berimajinasi lain. Dia beberapa kali mengajakku dan anak-anak panti yang tinggal di pesantren bermain ke pantai yang banyak terbentang di pulau-pulau yang tersambung jembatan Gortam. 

Kami seperti ibu dan ayah bagi anak-anak yatim itu. Kami seperti suami istri. Dia sibuk dan cemas dengan anak-anak yang riang berenang. Sesekali menyuruh aku menyusul mereka yang bermain terlalu jauh ke tengah laut. Aku membayangkan, seperhatian itulah nanti dia mencemaskan anak-anak kami. 

Kategori :