“Nah, sekarang kalian sudah tahu itu perintah mabes, kan? Tak ada kepentingan pribadi saya. Sama sekali tak ada,” katanya dengan suara bergetar dan penuh tekanan. ”Kalian mau apa? Mobil? Berapa? Sepuluh?”
“Bukan begitu, Pak...” kata Bang Eel.
“Terus gimana? Ini sudah berantakan kalian buat. Gara-gara berita kalian.”
Saya tak tahan juga untuk tak menjawab. ”Pak Guntur, di kode etik kami ada aturan bahwa wartawan tak menerima imbalan apa pun untuk memberitakan atau tak memberitakan sesuatu. Itu jelas, Pak. Jadi, Pak, tak perlu menawarkan apa-apa pada kami, terkait apa-apa yang harus kami beritakan atau tak kami beritakan...”
”Anda jangan mengajari saya, Bung. Kami di polisi juga punya kode etik, bukan wartawan saja, kami juga punya kehormatan.... Ini kalau saja saya sedang berurusan dengan penjahat sudah senjata yang bicara!” lalu Kombes Pol Guntur bicara panjang, sampai berdiri, sampai mengeluarkan pistol dari tas tangannya dan meletakkannya di meja.
“Pak, mohon pistolnya dimasukkan aja... Soal mobil ini saya ada usul solusinya,” kata Bang Eel.
Saya tak lagi bisa menyimak dengan jernih. Saya gentar dan takut. Juga menyesal. Bukan menyesali berita mobil bodong itu, tapi menyesal tadi kenapa saya menjawab dengan pasal kode etik. Kemarahan Kapolresta reda setelah kami sepakat untuk tak memberitakan itu lagi. Bang Eel bahkan menyarankan satu solusi lain.
“Begini, Pak. Bapak saya kira bisa minta ke salah seorang pengusaha besar di sini untuk mengakui bahwa mobil-mobil itu adalah sumbangan mereka,” kata Bang Eel.
Kombes Pol Guntur tertarik dengan usul itu. ”Bagus juga. Kalian bantu atur ya, nanti ketemu dan bicara dengan Iptu Binsar ya, Kasi Humas kita..” ujarnya.
Saya dan Bang Eel bersitegang setelah Kapolresta meninggalkan kantor kami. Saya tak setuju dengan usulnya tadi. ”Buat apa kita repot-repot urus masalah mereka, Bang...”
”Kalau kau tak mau, kau tak usah ikut repot. Biar saya yang urus. Kau tak lihat gimana marahnya Pak Guntur tadi? Untung tadi kita ketemu di kantor kita, kalau di tempat lain, sudah habis kita. Kita harus kompromi juga. Saya cemaskan teman-teman kita di lapangan, Dur.”
”Tapi dia menghina profesi kita, Bang. Dia pikir semua wartawan bisa dibeli apa...”
”Kita sesekali harus kompromi juga, Dur. Tadi kan kita tak bicara soal berita Putri. Kita hajar terus. Tak bisa dia atur kita soal itu. Soal mobil bodong, kita bantu polisi,” kata Bang Eel.
Kompromi? Ini yang sering menggelisahkan saya. Di mana batasnya saya sebagai wartawan membuka diri untuk mau berkompromi? Apa yang dikompromikan? Idealisme? Sampai mana batasnya? Saya memilih untuk tidak pernah melakukannya. Sering saya dengar orang di luar bilang saya tak bisa dibeli, tak bisa ditakar. Banggakah saya? Sama sekali tidak. Bukankah seharusnya memang begitu seorang wartawan bekerja.
Bang Eel menelepon Bang Ameng. Mereka bicara lama.
Sore itu di Mapolresta. Bang Ameng, Kasi Humas Polresta Borgam, dan beberapa pengurus asosiasi pengusaha Borgam memberikan keterangan kepada wartawan bahwa mobil-mobil yang dikirim ke mabes Polri di Jakarta itu adalah sumbangan mereka, dengan fasilitas pembebasan pajak khusus dari kementerian keuangan. Ada kepala kantor Bea dan Cukai hadir membenarkan keterangan itu.