Oleh: Hasan Aspahani
KANTOR Dinamika Kota seakan dikepung polisi.
Anak-anak kantor ketakutan. Mereka bertanya apakah saya mau ditangkap. Isu lekas sekali menyebar. Beberapa kenalan menelepon. Termasuk Bang Ameng. Soal pengepungan dan penangkapan itu entah siapa yang menyebarkan kabar.
Saya menenangkan mereka. ”Kenapa kok pada takut, sih? Tenang saja. Ini kunjungan biasa saja.” Padahal saya sendiri juga gentar dan takut. Takut pada polisi saya kira bawaan yang laten. Sejak kecil, saya sebagaimana anak-anak kecil sering ditakut-takuti atau saling menakut-nakuti dengan kalimat, Awas, nanti ditangkap polisi!”
Dalam situasi biasa, polisi yang datang lebih dahulu sebelum kunjungan kapolres itu protokol yang biasa saja. Tapi ini terjadi di kantor kami sendiri dan kunjungan mendadak ini karena berita yang membuat orang nomor satu di Mapolresta itu marah. Sampai mendadak menggelar konpers.
Kombes Polisi Guntur turun dari mobil lalu berjalan diiringi dua ajudan. Keduanya dengan pistol di pinggang. Belasan polisi berjaga di depan kantor. Ia berjalan seperti sedang terlambat untuk sebuah pertemuan penting. Langkahnya cepat dan dihentak agak keras. Seperti berbaris. Seperti geram dan marah.
Saya dan Bang Eel menyambutnya di pintu kantor. Saya memperkenalkan diri. Jabatan tangannya kencang. ”Kita belum pernah ketemu langsung ya,” katanya padaku. Saya mengiyakan. ”Bapak sibuk terus,” kataku.
”Ah, Anda yang sibuk...” katanya.
Sambil berjalan menuju ruang rapat, dia bertanya berapa orang wartawan kami, di mana percetakan, berapa oplah, dan pertanyaan basa-basi lainnya. Saya dan Bang Eel bergantian menjawab.
Kombes Pol Guntur meminta di ruang rapat itu hanya ada kami, saya, Bang Eel, ia dan dua ajudannya. Salah seorang ajudannya membawa kamera dan memotret kami. Saya hendak memotretnya juga, tapi ia bilang tak usah. Pertemuan kami tak untuk diberitakan, katanya. ”Cuma buat arsip kami, Pak,” kataku. Saya tetap memotretnya. Ia tampak kesal.
Yang dia sampaikan tak berbeda jauh dari apa yang tadi dilaporkan Ferdy padaku lewat telepon, setelah jumpa pers tadi. Ia bicara soal eskalasi ketegangan politik dan sosial menjelang pemilihan wali kota, potensi pecahnya kerusuhan antarkelompok, dan besarnya atensi masyarakat pada kasus pembunuhan Putri. Ia meminta agar pemberitaan kami tak memprovokasi. Ia memastikan yang salah akan diproses secara hukum dengan adil.
Kepada Bang Eel dia bertanya soal wawancara. ”Belum dimuat ya? Kenapa?” Bang Eel menjawab sambil sekilas memandang saya, ”Masih belum lengkap, Pak. Rencananya saya mau wawancara lagi nanti sama Dur. Kapan Bapak ada waktu?”
”Secepatnya saja. Saya tunggu. Ke kantor saja, secepatnya, ya. Jangan lama-lama...” Lalu nada bicaranya meninggi ketika bicara soal mobil bodong itu. ”Kenapa tak konfirmasi ke saya sebelum kalian naikkan berita dan foto-foto ini?” katanya sambil menunjuk halaman depan koran kami yang ia bentangkan di meja.
”Saya ini sudah pernah tugas di mana-mana, tak pernah saya dibikin wartawan seperti ini,” katanya. ”Apa maunya kalian sebenarnya? Kalau soal idealisme, berbakti demi kepentingan bangsa dan negara, kita sama saja, saya juga bekerja mengabdi untuk negara ini.”
“Pak, kami tidak tahu ini mobil-mobil siapa, secara jurnalistik kami sudah jalankan tugas kami, kami konfirmasi ke Bea Cukai,” kata saya. “Kalau kami tahu itu mobil polisi untuk mabes, kami akan konfirmasi ke Bapak,” kata Bang Eel. Dalam hati saya bilang, kalau saya yang menjawab saya juga akan menjawab dengan kalimat itu.