”Sementara tinggal di rumahku saja, tak apa, sampai rumah kita selesai,” kataku.
Dengan headline yang berbeda koran kami hari itu unggul lagi. Laris manis. Jadi rebutan agen dan pengecer. Belum jam 12, koran kami sudah habis. Di mana-mana orang membahas berita kami. Juga di siaran pagi radio lokal.
Mayat Putri segera diterbangkan ke Palembang, kota kelahirannya. Orangtuanya, terutama ibunya rupanya kemarin bikin jumpa pers di Polda. Nyaris semua koran selain koran kami memberitakan jumpa pers itu. Kami tak dapat berita itu, karena Ferdy tak datang ke Polresta siang kemarin, saat jumpa pers tersebut. Di depan wartawan ibunya Putri menangis dan membuat pernyataan agar polisi segera menemukan pelakunya. Suaminya, ayah Putri, yang pernah jadi Kapolda di Palembang itu hanya diam. AKBP Pintor juga muncul di hadapan wartawan. Aku memperhatikan wajah-wajah itu.
Serangkaian pertanyaan muncul di kepalaku. Kenapa harus ada jumpa pers itu? Apa urgensinya? Tanpa itu pun siapa pun pelaku pembunuhan harus ditemukan. Polisi harus menangkap pelakunya dan publik harus merasakan bahwa keadilan ditegakkan, siapapun korban dan pelakunya, apapun motif kejahatan itu. Peti mati jenazah Putri diletakkan di ruang jumpa pers bersama fotonya yang sedang bersanding dengan Pintor. Setelah jumlah pers itu mayat Putri segera dibawa ke Palembang.
Tak ada yang bertanya soal autopsi. Paling tidak saya tak membaca ada koran yang membuat perihal itu. Polisi umumkan tim khusus di luar bareskrim dibentuk untuk mengusut kasus ini. Kenapa tim khusus? Alasannya agak tak logis. Polisi bilang ini kasus khusus, korbannya istri perwira, direktur kriminal khusus. ”Kalau diusut oleh tim biasa takut nanti ada kerikuhan,” kata pejabat Humas Polresta.
Di koran yang mengutip kalimat itu menyebut nama baru. Sepertinya pejabat baru. Saya belum pernah membaca namanya sebelumnya. Polisi, katanya, juga sedang fokus memburu Awang, pacar Runi. Polisi belum menyebut Putri sebagai korban pembunuhan, hanya disebut korban kekerasan.
Banyak pertanyaan berseliweran di kepalaku terkait perkembangan pembunuhan Putri dan perkembangan terakhir pemberitaan. Hari itu koran kami bisa dikatakan kecolongan bahan dari jumpa pers tapi tetap unggul di pasar karena pemilihan sudut pemberitaan yang berbeda. Banyak hal belum kupahami lagi. Kalau harus mengikuti arah berita kepolisian rasanya tak akan menarik. Polisi ingin publik mengikuti logika mereka. Tapi kenapa? Saya merasa harus menemui seseorang. Saya harus ketemu si sopir presiden, Pak Rinto Sirait.
Ketika aku tiba di rumahnya, bersama Ferdy, Pak Rinto sedang sibuk dengan Jeep CJ 7-nya. Kendaraan produksi lama yang terawat rapi. Mesinnya masih hebat. ”Sudah mau dibeli sama orang Jakarta, mau dibawa ke Jakarta, nggak saya lepas. Nggak akan saya lepas,” kata Pak Rinto.
Saya memperkenalkan Ferdy. ”Yang kode beritanya FDY, ya? Kamu rupanya…,” kata Pak Rinto. Dia selalu begitu. Pembaca berita yang jeli, sampai kode berita wartawan dia ingat.
”Coba perhatikan siapa direskrimum sekarang,” kata Pak Rinto. ”Harusnya dia yang tangani kasus Putri. Kenapa harus dibentuk tim khusus? Ini soal persaingan. Juga ada yang mau ditutupi, dan ada skenario yang mau dijalankan,” kata Pak Rinto. Kami duduk di teras rumahnya yang teduh. Dia menyuguhi kami dengan – apalagi kalau bukan – sukun goreng. “Kamu orang Ambon makan sukun goreng nggak?” tanya Pak Rinto pada Ferdy.
Pak Rinto kemudian bercerita tentang banyak hal. Selalu ada persaingan di dalam organisasi Polri dari mabes sampai polsek. Persaingan antarangkatan di pendidikan, asal kota, antarsuku, sampai persaingan karena kepentingan kelompok. ”Juga persaingan menguasai atasan,” kata Pak Rinto.
”Maksudnya gimana, Pak?”
”Ya, berebut pegang atasan. Biasa itu, selalu terjadi,” kata Pak Rinto. Di kepolisian itu mutase tinggi. Tour of duty istilahnya. Kapolres yang baru tergantung pada para perwira lama yang sudah tahu situasi daerah. Ada kepentingan-kepentingan membeking pengusaha atau kepentingan lain, politik misalnya.
”Di sini yang kayak gitu luar biasa persaingannya. Uang remang-remang di sini luar biasa perputarannya. Terutama judi. Juga penyeludupan. Ini Kawasan FTZ katanya, kan? Semua barang boleh masuk kecuali yang dilarang. Nah, siapa yang mengawasi barang yang dilarang itu tidak masuk?” kata Pak Rinto.
”Biaya operasional kepolisian itu tinggi. Apalagi di kota pulau kita ini. Biaya dari negara tak pernah cukup. Kapolresta harus pandai-pandai mencari dana tambahan. Di situ persaingan muncul. Siapa yang bisa menyetor rutin, dia yang dapat prioritas lebih besar, promosi. Kadang-kadang uang yang tak jelas sumbernya itu malah lebih besar dari biaya resmi. Itu yang bikin saya mundur dari dinas. Kau pahamlah, aku sudah sering cerita sama kau, Dur…” kata Pak Rinto.
”Jadi kira-kira apa hubungannya dengan pembunuhan Putri, Pak?” tanyaku.