Oleh: Hasan Aspahani
FERDY datang terlambat ke kantor, hampir dua jam. Saya paling tak bisa menoleransi ketakdisiplinan. Apalagi ini dilakukan Ferdy, wartawan baru yang sangat kuharapkan menjadi tulang punggung liputan Dinamika Kota. Ferdy bilang berita sudah dia cicil ketikannya di ponsel. Saya tak percaya orang bisa mengetik dengan baik di gawai sekecil itu. Nyatanya ia bisa. Hanya terlambat belasan menit dari deadline menyerahkan berita, dia sudah setor berita. Satu berita utama dan dua sisi lain yang menarik. Tentang kondisi hotel tempat pembantu korban. Ia juga menulis sedikit profil pembantu itu.
Namanya Runi. Orang Bima. Ferdy wawancara kawan Runi yang mengengoknya di tahanan polisi. Orang satu kampung. Runi berpacaran dengan Awang. Lelaki Melayu yang kerja serabutan, sesekali kerja sebagai sekuriti atau bawa taksi gelap. Sekuriti di komplek perumahan yang jadi TKP kenal dengan Awang.
Awang sering datang menemui Runi. Awang menghilang sejak Putri menghilang. Saya mengendus perkembangan cerita yang menarik dari dua sosok ini. Profil Awang dan kondisi perumahan yang jadi TKP bisa untuk jadi bahan liputan berukitnya. Saya mencatatnya di buku catatan saya, bahan buat rapat redaksi.
Selesai mengetik berita Ferdy pamit pergi buru-buru. Ia bilang akan kembali lagi selepas Isya, masih ada berita yang mau dia ketik, tapi sementara itu ada urusan yang ingin ia bereskan katanya. Ada yang mau dia bicarakan dengan saya. Ada apa? Kecemasan saya belum boleh hilang rupanya. Ingin saya menahan Ferdy dan bicara saat itu juga, tapi kerja menyiapkan koran sedang tak bisa diinterupsi oleh apapun. Cetak lima belas ribu besok adalah pertaruhan besar!
Kerja pracetak malam itu akhirnya beres juga. Kami bekerja dengan bersemangat. Capek yang tak terasa selama berjam-jam kerja itu baru terasa ketika tak ada siapa-siapa lagi di kantor. Aku menunggu Ferdy. Headline kami hari itu Kenapa Anak Putri Disekap di Hotel, dengan sub judul tetap Siapa Membunuh Putri.
Ferdy datang dengan cemas. Dia tergagap dan gugup ketika hendak mulai bicara. Lelah dan pucat. ”Udah makan belum?” tanyaku bercanda sebenanrya. Tapi tampaknya dia memang lapar. Ada satu bungkus nasi goreng tadi kubeli, sudah dingin. Aku bagi dua dengannya, kami makan dengan lahap.
”Maaf, Bang. Saya merepotkan sekali,” kata Ferdy setelah agak tenang.
Dia bercerita tentang istrinya yang nyaris keguguran. Pendarahan parah tadi pagi. Untung lekas pergi sendiri ke klinik. Ferdy menyusulnya. ”Istriku stres, Bang. Kami kan numpang di rumah keluarga istri saya. Mereka keluarga muslim. Kayaknya mereka tak nyaman dengan saya. Saya ini kan Kristen. Makanya saya terima kasih sekali abang kasih saya tumpangan sementara di rumah abang,” kata Ferdy.
Aku terdiam sebentar. Membiarkan Ferdy menghabiskan kesedihannya dengan sedikit kegembiraan itu. ”Istrimu harus dirawat?” akhirnya aku menemukan pertanyaan itu.
”Harusnya, Bang. Tapi tadi saya tak ada biaya.”
”Wah, jangan, dong. Opnamelah. Nanti dirawat ya, sampai sembuh. Selamatkan istrimu, selamatkan janin anakmu. Jangan pikirkan biayanya. Nanti kita cari,” kataku.
Malam itu kepada Ferdy saya juga memberi rumah. Mungkin itu bisa menghiburnya, membantu beban pikirannya yang sedang berat. Bukan rumahku sebenarnya. Bang Ameng tadi pagi singgah ke kantor, ternyata meninggalkan map berisi dokumen pembelian rumah yang dia tawarkan padaku. Rumah yang dibangun developer teman bisnisnya itu. Meskipun saya sudah menolak. Saya sudah juga beres dengan urusan pembelian rumah di kompleks yang sama dengan skema kredit. Meski harus dengan sedikit akal-akalan orang keuangan. Gaji saya tiga bulan terakhir dibesarkan supaya lolos dalam penilaian bank. Tiga puluh persen dari besaran gaji minimal sama dengan cicilan kredit. Kenapa harus berbohong begitu, tanyaku? ”Karena standar gaji kita memang kecil,” kata manajer keuangan kami.
Saya hampir membatalkan pengajuan kredit itu. Manajer keuangan kami meyakinkan yang penting saya bisa mencicil tiap bulan. ”Mas Dur kan dapat tambahan penghasilan dari komisi iklan tiap bulan,” katanya. Saya mulai mencicil uang mukanya.
Mata Ferdy berair. Ia bercerita tentang rumahnya yang dibakar massa saat kerusuhan panjang Ambon. Satu kompleks perumahan. Rumah yang belum lama ia tempati. Rumah yang juga ia beli dengan kredit.