Hanya saja kita harus memulai semuanya dari awal. Tabung elpiji yang ada sekarang tidak bisa dipakai untuk DME. Tabung DME harus khusus. Salah satu sifat DME, misalnya, "memakan" karet. Dengan demikian sistem pengaman tabungnya harus berbeda sekali.
Anda pun akan bertanya: apakah harga DME bisa lebih murah dari elpiji? Saya menyesalkan pertanyaan Anda itu: bertanya saja kok yang sulit dijawab. Saya pun angkat tangan: tidak bisa menjawabnya. Selesai.
Bukit Asamlah yang bisa menjawab. Juga Pertamina. Dua BUMN itu memang ditugasi pemerintah untuk melaksanakan gasifikasi batubara itu.
Bagi Bukit Asam menjawabnya gampang: batubaranya kan tinggal ambil. Tidak perlu beli. Biaya ambilnya pun murah. Mungkin hanya USD 8/ton. Di Indonesia tambang batubaranya sederhana: di permukaan tanah. Tidak seperti di Eropa atau Tiongkok: harus bikin lubang ke dalam perut bumi puluhan meter. Ratusan.
Dan lagi Bukit Asam dan Pertamina tidak harus keluar uang. Biaya investasi hampir Rp 0. Perusahaan Amerika Serikatlah yang investasi: Air Products and Chemicals Inc.
Biaya investasi itu mencapai USD 15 juta. Atau sekitar Rp 210 miliar. Yang penting, baginya, Pertamina mau tandatangan: sebagai pembeli wajib DME yang dihasilkannya.
Hati saya pun full doa: semoga terealisasi. Bersejarah. Apalagi kalau secara bisnis juga sukses bagi Bukit Asam dan Pertamina.
Tapi otak saya kok sangat khawatir: proyek ini layu sebelum berkembang.
Secara ekonomi harga DME baru bisa bersaing dengan elpiji dengan banyak syarat. Salah satunya: berapa harga batubara yang diubah menjadi DME itu.
Saya pun menghubungi Prof Dr Unggul Priyanto. Ia sarjana kimia ITB, S2 di Inggris dan S3 di Jepang. Disertasinya tentang mengubah batubara menjadi slurry. Yakni batubara cair. Untuk bahan bakar genset.
Dr Unggul pernah hampir lima tahun menjadi ketua BPPT. Setelah pensiun pun masih jadi peneliti di BPPT –kini difusikan menjadi BRIN.
Kalkulasi Dr Unggul membuat saya harus lebih memperbesar porsi doa. Sekarang ini harga batubara luar biasa tinggi. Yang Gar-5000 sudah di sekitar USD 100/ton. Padahal agar DME baru bisa bersaing dengan elpiji manakala harga batubara gar-5000 hanya USD 40/ton.
Apakah Bukit Asam rela batubara seharga USD 100 itu dijual ke proyek DME hanya USD 40.
Bagaimana kalau untuk DME itu pakai batubara kalori rendah? Misalnya Gar-3000? Sama saja. Harga batubara Gar rendah memang lebih murah. Tapi perolehan kadar energinya juga rendah.
Bisa saja pemerintah akan memaksa: Bukit Asam tidak boleh berpikiran bisnis seperti itu. Ini soal ketahanan energi nasional. Biarkan ibu-ibu bisa mendapat DME harga murah. Ibu-ibu diuntungkan. Demikian juga perusahaan Amerika itu.
Tentu harga batubara juga tidak akan selalu tinggi seperti sekarang. Tapi harga bahan baku elpiji juga ikut turun.