Oleh: Dahlan Iskan
INI perkara kriminal biasa. Sederhana. Lokasi kejadian jelas. Korban tewas jelas. Penembaknya jelas.
Ini perkara tidak biasa. Rumit. Sudah hari ke-16 belum ketahuan siapa tersangkanya.
Ini perkara mudah sekali. Polisi berpangkat kapten pun bisa menanganinya. Dengan cepat.
Ini perkara rumit. Kapolri sampai turun tangan langsung. Menko Polhukam pun ambil perhatian. Bahkan seorang Presiden Republik Indonesia –Ketua Negara-negara besar G20 tahun ini– sampai bersikap. Dua kali pula.
Lalu berpuluh juta orang tertawa. Geli.
Ada yang tertawa keras di dalam hati. Ada yang tertawa diam lewat meme. Dan bermunculanlah single image.
Tapi ada kemajuan.
Otopsi ulang dilakukan. Segera. Meski masih Rabu lusa. Kuburan Brigadir Yosua yang tewas ditembak 5 peluru itu sudah dijaga polisi. Sejak kemarin.
Sebelum itu pihak keluarga yang menjaganya: khawatir jenazah Yosua hilang.
"Saya yang meminta kuburan itu dijaga. Dipasangi lampu," ujar Johnson Panjaitan, pengacara keluarga. Memang ada 8 pengacara yang akan mendampingi mereka.
Johnson sendiri tadi malam sudah siap-siap untuk agenda otopsi itu. Ia akan ikut datang ke Jambi.
"Semoga mayatnya masih baik. Saya berdoa terus," ujar Johnson yang juga wakil ketua umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) Pusat.
Doa itu dimaksudkan agar otopsi bisa dilakukan di kuburan. "Demi transparansi. Agar banyak orang bisa ikut melihat," katanya. "Sayang sekali kalau harus dilakukan di rumah sakit," tambahnya.
Johnson lahir di Jakarta. Sekolah di SMAN 14. Lalu kuliah di fakultas hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta. Kampung halaman Bataknya masih jauh dari Balige.