Sapura adalah kebanggaan Malaysia. Dulu. Nama Sapura sendiri berasal dari gabungan antara keharuman, idaman dan kecantikan. Ada juga nama bunga Sapura –dalam bahasa India. Yang bentuknya mirip Sakura di Jepang.
Bencana Sapura sendiri berasal dari kontrak-kontrak internasional yang bermasalah.
Sebelum sebesar sekarang, Sapura bisa mendapat kontrak dari Petronas. Dalam nilai yang fantastis. Di masa lalu. Yakni ketika seorang perdana menteri masih bisa menekan sana-sini.
Tahun lalu Sapura rugi sekitar Rp 30 triliun. Dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Padahal pendapatannya setahun hanya sekitar Rp 15 triliun.
Harga sahamnya pun anjlok terus. Saat saya di Kuala Lumpur kemarin, masih belum berhenti turun. Tinggal 3 sen ringgit. Maka total nilai perusahaan Sapura tinggal Rp 10 triliun –anjlok dari sekitar Rp 100 triliun dua tahun lalu.
Sapura punya usaha di 20 negara. Produksi minyak dan gasnya setara dengan 5 juta barel/hari. Hampir 8 kali lipat lebih besar dari kemampuan produksi Pertamina.
Pendiri perusahaan ini adalah Abdul Kadir Shamsuddin. Kini berumur sekitar 90 tahun. Anaknya lah yang kini mengendalikan perusahaan: Tan Sri Datuk Seri Shahril Shamsuddin. Bapak-anak ini sama-sama alumni Massachusetts Institute Technology (MIT) di Harvard, Amerika.
Di zaman Mahathir jilid 1 namanya belum Sapura. Ketika didirikan di tahun 1975 karyawannya hanya 6 orang. Bergerak di bidang layanan kabel telepon. Lalu berkembang pesat. Ke industri. Ke otomotif. Ke minyak dan gas.
Pandemi memang sudah berakhir di Malaysia. Kelihatannya. Tapi long Covid-nya menjalar sampai ke raksasa niaga. (Dahlan Iskan)