Ketua DPD Nilai Presidential Threshold Banyak Mudarat Ketimbang Manfaat
Reporter:
radi|
Minggu 06-06-2021,16:13 WIB
JAKARTA - Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyatakan ada empat implikasi dari adanya ketentuan presidential threshold yang ada dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
“Setidaknya ada empat implikasi dari presidential threshold. Pertama adalah bagaimana pemilihan presiden (pilpres) hanya akan memunculkan dua pasangan calon yang head to head,” kata LaNyalla dalam siaran pers saat pada FGD dengan tema “Presidential Threshold: Antara Manfaat dan Mudarat” di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (05/06/2021).
Presidential threshold atau ambang batas capres merupakan syarat pasangan calon di pilpres, di mana pasangan harus diusulkan partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR, atau 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Keadaan tersebut, kata Ketua DPD RI, dapat mempersempit kemungkinan lahirnya lebih dari tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).
“Meskipun di atas kertas didalilkan bisa memunculkan tiga hingga empat pasangan calon, tetapi tidak begitu dalam praktiknya. Buktinya, dalam pemilu yang lalu-lalu bangsa ini hanya sanggup memunculkan dua pasang calon,” kata LaNyalla.
Dampak dengan hanya ada dua pasangan calon dalam pilpres, kata dia, adalah bisa menyebabkan pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput.
“Kondisi itu masih dirasakan hingga detik ini, meski sudah ada rekonsiliasi. Tentu sangat tidak produktif bagi perjalanan bangsa dan negara ini,” katanya.
Menurut dia, implikasi kedua dari presidential threshold adalah menghambat putra-putri terbaik bangsa yang hendak maju di pilpres, tanpa naungan partai politik.
“Karena sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin kompeten. Tetapi, kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya. Semakin sedikit kandidat yang bertarung, akan semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin yang terbaik,” kata LaNyalla.
Kemudian implikasi ketiga adalah bagaimana presidential threshold berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat, sebab dikatakan LaNyalla, pembatasan calon berarti membatasi saluran politik pemilih.
“Peluang pemilih untuk tidak memilih alias golput menjadi tinggi, karena calon terbaik menurut mereka tidak mendapat tiket untuk maju. Sehingga kedaulatan rakyat melemah digerus kedaulatan partai yang semakin menguat,” katanya.
Implikasi keempat dari presidential threshold, yakni tidak berdayanya partai kecil di hadapan partai besar mengenai pasangan calon yang akan diusung bersama. Padahal, partai politik seharusnya didirikan untuk mengusung kadernya agar bisa tampil menjadi pemimpin nasional.
“Tetapi dengan aturan ambang batas presiden itu, maka peluang kader partai politik untuk tampil menjadi tertutup. Karena hanya partai politik besar atau gabungan partai politik yang dapat mengusung capres dan cawapres,” kata mantan Ketua Umum PSSI ini.
Dari argumentasi tersebut, LaNyalla menganggap aturan presidential threshold sebenarnya lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Apalagi dalil bahwa presidential threshold disebut untuk memperkuat sistem presidensil agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, justru membuat mekanisme check and balances menjadi lemah.
“Karena partai politik besar dan gabungan menjadi pendukung presiden terpilih. Akibatnya yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah. Inilah persoalan yang sebenarnya ada di hulu, bukan di hilir,” kata LaNyalla.
LaNyalla menjelaskan, UU Pemilu sendiri merupakan buah dari amandemen UUD 1945 terdahulu. Menurutnya, amandemen konstitusi dari tahun 1999 hingga 2002 menjadi dasar lahirnya undang-undang yang menjadikan wajah Indonesia seperti hari ini.
Oleh karenanya, senator asal Jawa Timur itu mengajak seluruh masyarakat untuk jujur menjawab dengan hati nurani, apakah arah perjalanan bangsa Indonesia semakin menuju kepada apa yang dicita-citakan oleh founding fathers bangsa ini atau semakin menjauh?.
“Karena itulah, kenapa saya menggulirkan wacana amandemen ke-5, sebagai momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa. Sehingga kita harus mendorong MPR RI untuk bersidang dengan agenda amandemen, tetapi dengan suasana kebatinan untuk melakukan koreksi dan perbaikan atas amandemen yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002,” katanya. (ant/fin).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: