Semen Drum

Semen Drum

Aksi Bupati Kediri Hanindhito Himawan Pramana tendang plafon heboh di media sosial--Instagram/@dhitopramono--

Oleh: Dahlan Iskan

AWALNYA berita kecil: Bupati Kediri ngamuk-ngamuk. Bulan lalu. Yakni saat meninjau proyek pasar di sana. Anggaran proyek itu dari kementerian perdagangan. 

Sang Bupati, Hanindhito Himawan Pramana, mendadak ke proyek pasar itu. Ia sepak bahan untuk plafon pasar. Berantakan. Ia pun marah-marah. Salah satu kalimatnya menyebut Semen Padang. Ia katakan itu semen dengan kualitas terendah. Tidak kuat.

Belakangan Mas Dhito, panggilan akrabnya, minta maaf kepada Semen Padang. Ia tidak punya maksud merendahkan Semen Padang. Selesai. Semen Padang juga memaafkan anak Pramono Anung itu.

"Semen Padang itu sudah dipakai di Surabaya sejak tahun 1914," ujar  Khairul Jasmi, komisaris perusahaan itu kepada saya. Tentu Mas Dhito tidak tahu. Ia belum lahir saat itu. Saya juga baru tahu begitu panjang sejarah Semen Padang di Surabaya.

Jasmin lantas mengirimkan ke saya copy dokumen kuno pengiriman semen itu. Di tahun 1914. Menarik sekali. Semen itu dikirim dari Padang ke pelabuhan Batavia, Cheribon en Tegal, Semarang, Soerabaja, Bandjarmasin, Samarinda, Boeleleng, Makassar, Manado, Gorontalo, Ternate, Ambon. 

Semua kota itu kita tahu di mana letaknya. Tapi di dokumen kuno itu disebut beberapa kota tujuan yang saya tidak tahu lokasinya di mana saat ini: Toboali, Soengai Slan, Ko-ba, Batoe Roesa, Merawang, Soengai Liat, Blinjoe, Muntok, dan Kroe.

Dalam dokumen pengiriman semen itu terlihat juga tujuan lain: Penang dan Singapura. Tentu keduanya saat itu belum disebut luar negeri.

Semen Padang kini memang lagi mengumpulkan dokumen lama terkait sejarah masa lalunya. Kebetulan ada orang Padang yang lagi top di Belanda: Dr Suryadi MA. Maka Suryadi kini menyisihkan waktunya untuk membongkar arsip-arsip lama di Leiden dan Amsterdam. Ia dapat banyak sekali. Kalau dokumen itu dijajarkan panjangnya bisa 10 km.

Semen Padang adalah pabrik semen tertua di Indonesia. Bahkan, mungkin, di Asia Tenggara. Pabrik itu didirikan tahun 1910. Swasta. Dr Suryadi bisa mendapatkan arsip akta pendirian perusahaan itu. Copy-nya dikirim ke saya kemarin. 

Suryadi anak petani di nagari Sunur, Pariaman. Sunur itu tetangga Ulakan, pusat tarekat Syatariyah di Sumbar. Saya pernah ke makam Syeh Burhanuddin di Ulakan.

Setamat SMA di Pariaman, Suryadi kuliah di Universitas Andalas, Padang. Ia pilih jurusan sastra daerah. Ia pun tertarik pada lowongan pekerjaan menjadi dosen di Universitas Leiden, Belanda. Ia melamar. Diterima.

Kini Suryadi sudah 20 tahun di Belanda. Sambil mengajar ia terus kuliah. Kini sudah doktor. Disertasinya sudah diterbitkan oleh penerbit Malaysia. Yakni, Institute of Ethnic Studies, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2020. Judul buku itu: Audible Locality.

Bahwa namanya hanya satu kata, Suryadi, dan mirip nama orang Jawa, itu terkait pemberontakan PRRI di Sumbar. Anak-anak yang lahir di zaman itu banyak diberi nama Jawa. Untuk keselamatan masa depan. Agar tidak dikait-kaitkan dengan pemberontakan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait