Lim Xiao Ming

Lim Xiao Ming

--

Oleh: Dahlan Iskan

SAYA diundang tahlilan Jumat malam kemarin. Tahlilan tujuh hari. Di sebuah masjid Surabaya. Yang meninggal 林孝銘 (Lim Xiao Ming).

Ternyata saya diminta merangkap jadi penerjemah. Setelah tahlilan memang ada acara sambutan tunggal: wakil keluarga almarhum. Yang tampil anak bungsunya: 林庆海 (Lim Qing Hai).

Sang anak masih belum bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Ia ingin memberi sambutan dalam bahasa asing. Terserah saya, ia harus pidato pakai bahasa apa. Agar lebih mudah bagi saya untuk menerjemahkannya.

Lim Qing Hai bisa berbahasa Inggris dan Arab. Sama fasihnya. Saya pilih ia pakai bahasa Inggris saja. Saya malu padanya: bahasa Arab saya parah sekali.

”Bisa bahasa Mandarin?” tanya saya pada Lim Qing Hai.

”Ma ma huhu,” jawabnya. Ma berarti kuda. Hu berarti harimau. Ma ma huhu bukan berarti kuda kuda macan macan. Rasanya, maksudnya: begitu begitu. Itu jawaban merendah untuk mengatakan ”so so”. Tapi biarlah komentator Budi Utomo dan Liang Yang An yang membahasnya: mengapa pakai ma ma huhu.

Tahlilan itu diadakan di Masjid Cheng Ho Surabaya –masjid pertama di Indonesia dengan arsitektur Tiongkok. Yang meninggal tadi memang salah satu pengurus Masjid Cheng Ho. Di masjid itu pula Lim Xiao Ming menyatakan diri menjadi mualaf.

Nama Indonesianya: Herman Halim. Seminggu sebelum meninggal saya masih makan siang bersamanya. Ramai-ramai. Bersama tokoh-tokoh Tionghoa dari perkumpulan Fuqing. Yakni mereka yang punya leluhur di Kabupaten Fuqing, Provinsi Fujian.

Hari itu perkumpulan pemuda/pemudi Fuqing berkumpul di Surabaya. Dari seluruh Indonesia. Tokoh-tokoh seniornya ikut hadir: Alim Markus –”Cintailah Produk-produk Indonesia”–, Wencin Si raja emas, Mingky dari Ming Garden, pabrik baja, dan banyak lagi.

Saya diminta jadi pembicara di forum itu. Lalu tokoh-tokoh tersebut meninggalkan forum: makan siang di sebuah restoran Tionghoa yang terkenal dengan menu paoyu-nya: Kapin.

Saya tidak menyangka Herman Halim meninggal seminggu kemudian. Di Singapura. Ia memang ke Singapura. Ingin ke dokter. Tapi bukan untuk berobat. Hanya check up. Bersama istri sambungnya. Sudah tiga tahun mereka tidak kontrol.

Di Singapura ia terjatuh. Lemas. Terkulai. Meninggal. Usianya 70 tahun. Lim Xiao Ming punya leluhur di Fuqing. Satu kampung dengan Alim Markus dan konglomerat terbesar Indonesia Liem Sioe Liong.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: